Bab 28 - Kabar Buruk

1.8K 307 3
                                    

Ucapan Clara beberapa jam yang lalu dilanggar oleh gadis itu sendiri. Tidak peduli pada Dewa? Tidak penasaran? Sepertinya salah besar. Sebab, saat ini di dalam kamarnya dia tidak dapat fokus belajar. Dia tidak tahu kalau efek dari terlalu sering bertemu Dewa, dekat dengan lelaki itu, mendapatkan beberapa perhatian, dan menjadi pacarnya membuat Clara sering memikirkan lelaki itu. Dia tidak pernah menyangka kalau pengaruh Dewa yang memasuki hidupnya ternyata cukup besar.

Clara menutup buku tebal di meja belajarnya yang tengah dia baca. Gadis itu meraih ponselnya lantas menghubungi nomor Dewa. Sejujurnya dia masih penasaran mengapa Dewa pergi terburu-buru, apalagi raut lelaki itu tampak cemas, ditambah lagi malam ini Dewa belum mengiriminya pesan. Padahal biasanya setiap hari, setiap malam, lelaki itu akan selalu menerornya dengan pesan-pesan hingga Clara muak.

Tidak ada jawaban dari seberang sana membuat Clara mendadak diserang perasaan gusar, apalagi saat ini perasaannya tidak enak. Tunggu, bagaimana bisa?

Clara menjauhkan ponsel dari telinganya. Gadis itu mengernyit dalam ketika menyadari ada yang aneh dengan perasaannya. Baru kali ini dia merasa gelisah dengan alasan yang tidak masuk akal, sungguh tidak logis. Masa iya hanya karena Dewa belum menghubunginya dan perasaannya tidak enak? Clara ingin tertawa memikirkan alasan aneh itu.

Brak!

Suara pintu kamar yang dibanting membuat Clara berjingkat kaget. Gadis itu menyorot tajam ke arah sang adik yang memasuki kamarnya tanpa permisi.

“Ngapain lo?” tanya Clara dengan ketus.

Ares berjalan mendekat ke arah Clara dengan langkah tergesa. “Gue tadi habis dari minimarket. Waktu gue lewat depan Gang Merdeka, di situ ramai banget ada polisi sama mobil ambulans, ternyata habis ada anak SMA tawuran. Dan lo tahu anak SMA mana yang ikut tawuran?”

Clara menggeleng sebagai jawaban.

“Anak SMA dari sekolahan lo! Terus, gue lihat ada cowok yang mirip sama Bang Dewa, dia luka-luka dan dibawa ke rumah sakit Kusuma,” jelas Ares, lelaki itu terlihat panik.

Clara terdiam, tampak berpikir. Beberapa detik setelahnya gadis itu berdiri dan berlari-lari kecil keluar rumah, tidak peduli dengan Ares yang meneriakinya dan bertanya hendak ke mana.

Clara memesan taksi online, menunggu dengan tak sabar. Gadis itu berjalan mondar-mandir di depan gerbang rumahnya. Pikirannya kacau dengan banyak kemungkinan. Bagaimana kalau lelaki yang Ares lihat benar-benar Dewa? Bukankah itu mungkin saja terjadi? Lagi pula, para siswa di sekolahnya termasuk anak-anak yang rajin, hanya ada satu geng yang beberapa kali terlibat tawuran, yaitu Geng Rajawali. Maka besar kemungkinan kalau yang terlibat tawuran adalah geng tersebut.

Ketika taksi online pesanannya datang, Clara bergegas memasuki mobil. Dalam perjalanan menuju rumah sakit Kusuma, Clara disibukkan dengan pikirannya dan kebingungan gadis itu. Mengapa dia seperti mengkhawatirkan Dewa? Kalau lelaki itu kenapa-napa, seharusnya dia tidak usah peduli, toh itu bukan urusannya. Ada apa dengan perasaan aneh yang baru kali ini dia rasakan? Gelisah, cemas, dan tidak dapat berhenti memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Clara tidak menyukai semua ini. Sungguh, dia ingin mengenyahkan perasaan ini, tetapi rasanya sulit sekali.

Seandainya Dewa kenapa-napa, benarkah dia bisa untuk tidak peduli? Tiba-tiba, Clara tidak yakin dengan hal itu. Belakangan ini dirinya benar-benar aneh, semua ini akibat dari kedekatannya saat bersama Dewa dan perhatian yang lelaki itu berikan padanya.

Tiba di tujuan, Clara membayar taksi online lantas bergegas keluar. Baru saja gadis itu hendak melangkah, tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera sebuah nomor tak dikenal.

“Halo,” sapa Clara dengan tak sabar.

“Clara, ini gue, Atha.”

Sontak, Clara terbelalak. “Atha? Lo lagi sama Dewa nggak?”

Terdengar suara berisik dari seberang sana. “Gue sama Dewa di rumah sakit Kusuma. Lo bisa dateng? Entar gue kirimin nama ruangannya.”

“Bisa. Kirimin sekarang!” seru Clara lantas memutus panggilan.

Pesan dari Atha masuk. Tanpa membuang waktu Clara memasuki area rumah sakit dan mencari ruang rawat inap tersebut. Sampai di depan ruang rawat inap, mata Clara menyipit ketika melihat sosok-sosok yang dia kenal. Ada beberapa anggota Geng Rajawali di depan ruangan tersebut dan mereka semua terluka. Namun, hal yang membuat Clara heran adalah dia tidak melihat sosok Dewa.

“Di mana Dewa?” tanya Clara kepada salah satu dari anggota geng.

Seseorang keluar dari ruang rawat inap. Atha, lelaki itu menghampiri Clara. “Lo udah sampai.”

“Di mana Dewa?” ulang Clara.

Atha dan beberapa anggota geng saling pandang. “Dewa … dia di dalam ruangan, masih belum sadar.”

“Kenapa?” Clara memang terlihat tenang saat menanyakannya, bahkan raut wajahnya masih datar. Namun, sebenarnya gadis itu tengah menahan diri untuk tidak mengeluarkan emosi aneh yang tiba-tiba saja mulai menguasai tubuhnya.

Atha menelan ludah. “Dewa luka lumayan parah, dia ketusuk waktu lagi nolongin Ardi.”

“Jadi, kalian tawuran gara-gara masalah yang sama kayak waktu malam HUT sekolah?” tebak Clara.
Atha memandang Ardi sesaat sebelum mengangguk kaku.

“Wah!” seru Clara dengan wajah datarnya yang mengeras. Gadis itu beranjak mendekat ke arah Ardi yang tengah terduduk dengan kepala menunduk. “Lo udah puas sekarang?”

Ardi mendongak. Dia terlihat kacau dengan lebam dan perban di sana-sini. “Apa maksud lo?”

Clara menarik napas untuk menghilangkan emosi yang menguasainya. “Gue udah ngasih tahu lo waktu itu, jangan buang-buang tenaga karena masalah sepele. Udah berantem, ditambah tawuran. Emang apa untungnya setelah lo lakuin itu semua, hm? Ah, mungkin untungnya anggota geng lo jadi luka-luka dan Dewa bahkan belum sadar. Gue tanya sekali lagi, ada nggak untungnya?”

Ardi terdiam. Tak sanggup menatap mata Clara yang menyorot tajam, lelaki itu pun menunduk. “Nggak ada untungnya,” sahutnya. Ketika menyadari sesuatu, Ardi kembali mendongak. “Tapi, mereka duluan yang nantangin gue.”

“Terus kenapa kalau mereka nantangin lo?” tanya Clara dengan tangan terlipat di depan dada.

“Gue marah, emosi.”

“Kenapa kalau lo emosi?”

“Gue nggak terima, harga diri gue jatuh.”

“Dan?”

“Waktu mereka nantangin tawuran, gue terima,” ujar Ardi dengan tangan terkepal. Sepertinya masih ada sisa-sisa emosi di dalam diri lelaki itu.

Clara menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Ardi, menatap tepat ke dalam bola mata lelaki itu. “Nyesel nggak lo?”

Ardi terdiam cukup lama sembari memandang Clara. “Ya. Gue nyesel.”

Clara mengangguk-angguk. Tangan gadis itu terangkat lantas menepuk pundak Ardi hingga lelaki itu meringis, apalagi Clara memukul tepat di pundaknya yang terluka. “Gue maafin lo karena udah menyesali perbuatan. Jangan lupa introspeksi diri habis ini. Awas aja kalau lo ngajak Dewa ikut tawuran lagi! Bakal gue buang lo ke Planet Merkurius biar gosong kena matahari!” ancamnya sembari meremas pundak Ardi. Lagi-lagi, lelaki itu meringis dibuatnya.

Sambil menahan rasa sakit, tanpa sadar kepala Ardi mengangguk-angguk, lelaki itu terlihat takut dengan Clara. Untuk pertama kalinya, dia merasa terintimidasi dengan seorang perempuan.

Ambitious Girl (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang