3 - Accident

10 3 29
                                    

Terkadang hidup bertolak belakang
dari sesuatu yang telah terencana.
Jawabannya sederhana.
Di mata kita rencana
itu terlihat sempurna,
belum tentu sempurna
di mata Sang Pencipta.
Percayalah bahwa Dia ingin
memberikan hal terbaik bagi Umat-Nya.

Pelajaran pertama di kelas X IPA 2 adalah Sejarah Indonesia. Sesuai kata Garen kemarin sewaktu di parkiran, hari ini ulangan harian. Berusaha semaksimal mungkin, Iren menghafalkan materi yang tertanda stabilo di buku catatan milik Garen. Selain materinya banyak, tulisan cowok itu bak cacing kepanasan. Hingga mau tidak mau, gadis itu harus mengirim pesan, dan menanyakan arti tulisan yang tidak jelas tersebut kepada sang pemilik. Alhasil, setengah dua Iren baru bisa terlelap setelah belajar. Akibatnya ia kurang tidur.

Usai empat puluh menit, Iren menjadi orang kedua yang mengumpulkan jawaban ulangan di atas meja guru penuh kepercayaan diri. Pasalnya ia yakin jawabannya sembilan puluh lima persen benar.

"Shiren dan Garen ikut saya sebentar," panggil wali kelas X IPA 2 sekaligus guru mata pelajaran Sejarah Indonesia—Welda.

Menghela napas, Iren berjalan menghampiri Welda disusul Garen dari belakang menuju keluar dari ruangan kelas.

Lamat-lamat Iren mengamati Welda dari arah belakang. Guru berusia tiga puluh empat tahun, bertubuh mungil, rambut dikucir ekor kuda, serta kacamata minus bertengger di hidung mancungnya, ternyata merupakan seorang ibu dari tiga anak masih terlihat seperti seorang gadis. Sejujurnya Iren masih tidak menyangka mengetahui fakta tersebut.

"Karena kalian selesai mengerjakan UH lebih awal, Ibu izinkan Garen membawa kamu keliling sekolah. Nanti lima belas menit sebelum jam sembilan, kalian harus kembali ke kelas," kata Welda diakhiri senyuman tipis.

Garen adalah salah satu murid yang paling Welda percayai. Makanya dia memilih cowok itu sebagai ketua kelas. Rasa kepercayaan Welda kian bertambah, ketika Garen tidak pernah menganggap remeh tanggung jawab walau sekecil apa pun.

"Baik, Bu," jawab Iren dan Garen secara bersamaan.

Setelah mendapati Welda menutup pintu kelas dari dalam, Iren menatap alorji melingkar di tangan kirinya sambil berpikir sejenak.

"Masih tersisa satu jam lima belas menit. Mau ke depan beli cireng?" tanya Iren menyenggol pelan bahu Garen dengan niat bercanda. Ya, tidak mungkin baginya sebagai siswi baru bolos mata pelajaran begitu saja. Dia tidak senakal itu.

"Tertarik masuk BK?" tanya balik Garen menaik-turunkan alisnya, mengingat peraturan sekolah cukup ketat.

"Nggak pa-pa, asal sama lo." Iren mengakhiri kalimatnya dengan terkekeh pelan dan mulai berjalan mendahului Garen yang mematung sebentar di tempat.

Cowok itu menatap punggung Iren semakin menjauh dan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum simpul sebelum sedikit berlari menyusul Iren.

•°•°•°•°•

Suasana sekolah tampak sepi dan sunyi pada tiap koridor yang Iren dan Garen lewati. Tidak ada satupun murid terlihat dijam mata pelajaran pertama. Bahkan suara guru menjelaskan dalam kelas, sama sekali tidak terdengar dikarenakan ruangan sengaja dirancang kedap suara oleh pemilik sekolah agar tidak saling mengganggu aktivitas kelas sebelah.

"Katanya, sebelas IPA empat dulu bekas kamar mayat," jelas Garen mendekatkan bibirnya ke telinga Iren tatkala mereka melewati koridor kelas sebelas di lantai dua, berniat menakuti gadis itu. Seketika bulu kuduk sekujur tubuh Iren meremang. Bukan berarti ia berhasil ditakuti, melainkan cowok itu berbisik terlalu dekat di telinganya menimbulkan efek samping yang tidak biasa. Tanpa sadar, Iren menabok lengan Garen hingga menimbulkan suara lumayan keras. Cowok itu meringis sembari menggosok-gosok lengan bekas tabokan Iren.

"Sorry," sahut Iren menepuk pelan  punggung Garen kemudian mengabaikannya, memilih tetap melangkah ke depan menuju lantai dasar. Jika dipikir-pikir, semakin ke sini dari awal pertemuan mereka sikap Garen terkesan dingin dan berbanding terbalik dengan sekarang. Dia masih ingat betul bagaimana tampang Garen sewaktu Iren tidak sengaja menabrak tubuhnya di gerbang hari pertama Iren masuk sekolah. Masalah tersebut Garen sudah meminta maaf terlebih dahulu. Keduanya perlahan-lahan mulai akrab. Padahal baru kenal dua hari, serasa teman lama tak berjumpa.

Sampai di lapangan utama, terlihat dua kelas berbeda sedang mengikuti pelajaran Olahraga dibimbing oleh guru.

Tanpa sengaja pandangan Iren menangkap sosok Agin dan Risha tertawa lepas di ujung lapangan. Kelas mereka tengah melaksanakan praktik bermain voli. Mereka lupa pada orang di sekitar, seakan dunia terasa milik berdua. Dasar manusia kasmaran tidak kenal tempat dalam hal pacaran!

Tatapan Iren dan Risha bertemu dari kejauhan. Keduanya hanya bisa tersenyum, seakan saling menyapa.

"Spot yang belum lo datengin kolam renang, kan?" Suara Garen menginterupsi. Iren melirik cowok di sebelahnya, spontan menganggukkan kepala, lalu melanjutkan perjalanan.

Selang dua menit berjalan seraya berbincang ria, mereka sampai ke kolam renang besar terletak di halaman belakang sekolah. Kolam renang itu memiliki atap, agar seolah berada di dalam sebuah ruangan, serta menghindari sampah tertiup angin maupun kotoran burung.

Iren berdecak kagum pada pemandangan kolam renang di hadapannya. Jarak tiga meter dari kolam, terdapat bangku tribune delapan tingkat, dan beberapa tanaman hijau dalam pot keramik berukuran sedang menghiasi. Kata Garen, kadang-kadang SMA Bina Bangsa melaksanakan lomba renang melawan SMA sebelah.

Tanpa ragu, Iren berjalan menuju tepi kolam. Air jernih cukup menarik perhatiannya. Walau di rumah Hika terdapat kolam renang juga, namun terbengkalai karena jarang dibersihkan.

"Jangan terlalu tepi, ntar lo jatoh." Garen memperhatikan gerak-gerik gadis itu dari arah belakang bak seorang ayah memperhatikan anaknya.

"Kan ada lo."

"Pengen amat kecebur."

Iren tersenyum lebar dan membalikkan tubuhnya menatap Garen dari jarak satu meter, menanggapi kalimat akhir cowok itu. Dari wajahnya, jelas sekali tercetak kata bahagia membuat Garen memasukkan kedua tangan ke dalam celana hitamnya, samar-samar ikut tersenyum. Garen teringat ingin menanyakan sesuatu. Mengambil langkah lebar, cowok itu telah berada di sebelah Iren.

Baru saja Iren kembali membalikkan badan melanjutkan langkah kakinya, mendadak lantai tepi kolam terasa licin dan ia kehilangan keseimbangan tubuh.

"EH!"

Dengan gerakan gesit, Garen mengeluarkan kedua tangan dari saku celana, reflek menarik tangan kiri gadis itu, berusaha menyelamatkannya agar tidak jatuh ke kolam renang. Tetapi, justru ada hal lain yang sama sekali tidak diprediksi terjadi, seolah berada di bawah alam sadar.

Siapa sangka insiden menyelamatkan Iren tanpa sengaja membuat bibir keduanya menyatu? First kiss mereka terengut tanpa disangka-sangka.

Baik Iren maupun Garen, mereka sama-sama membelalakkan mata. Terkejut atas kejadian tak terduga. Apakah ini bagian dari rancangan Sang Pencipta? Ataukah ketidaksengajaan belaka? Mungkin keduanya?

Sigap Iren mendorong kasar dada bidang Garen dan berlari keluar dari area kolam renang, meninggalkan Garen bergeming di tempat, tanpa mengungkapkan sepatah katapun. Adegan tersebut memakan dua detik memang. Tetap saja seumur hidup akan diingat. Mereka berharap kejadian barusan merupakan sebuah mimpi.

Jumat, 10 September 2021

A.N.

Hai, apa kabar? Moga sehat selalu. Terima kasih bagi yang udah mau mampir apalagi sampai memberi vote dan komen di ceritaku. Part ketiga bagaimana? Ya, jujur aku rada nganu nulis tragedi scene terakhir. Tapi, gapapalah ya sesekali? Wkwkwk.

Sekian, sampai jumpa dipart selanjutnya.

Ai ajuns la finalul capitolelor publicate.

⏰ Ultima actualizare: Sep 15, 2021 ⏰

Adaugă această povestire la Biblioteca ta pentru a primi notificări despre capitolele noi!

Atma Yang HilangUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum