8 | Kelas Pertama

Mulai dari awal
                                    

          "Lho, nggak percaya sama saya?"

          Vian makin kikuk bahkan mengalihkan pandangan ke lantai. Suaranya semakin pelan. "Bu-bukan begitu ...."

          Tangan Ray yang tetiba menepuk pundak Vian membuatnya sedikit berjengit. Ray memberikan cengiran lebar dan bertingkah selayaknya sedang bercanda dengan kawan lama. "Santai sedikit, dong. Tegang amat."

          Vian meringis sembari menjeling pada tangan Ray di bahunya. Ia geser perlahan dan hati-hati berucap, "Tangan kamu ... baiknya dicuci dulu, Ray."

          "Lho, emangnya kenapa?" Acuh tak acuh, Ray bertingkah seolah menelisiki bakteri yang sekiranya menempel di sekitaran tangan. "Saya nggak habis main kotoran. Jadi masih bersih."

          "T-tapi—"

          "Iya iya." Akhirnya Ray menurut. Ia tadi hanya bermaksud menggoda Vian dan kuluman tawanya masih tertahan di ujung mulut. Ia biarkan Vian menunggu beberapa menit. Selama itu hanya ada suara air yang mengucur menghiasi keheningan. Kemudian, ditunjukkan tangannya yang sudah mengilap dan wangi. "Gimana, udah bersih?" 

          Anggukan Vian seakan memberi tanda bagi Ray bahwa ia sudah bisa masuk ke kelas Virologi. Tapi Ray salah tangkap, karena baru saja ia hendak melewati Vian, pemuda itu menghentikan langkahnya lagi. "Jasnya, Ray. Jangan lupa ganti dulu."

          Ray mendesah. Ia pasang mimik memelas yang dibuat-buat. "Apa nggak boleh pakai jas saya yang ini aja? Udah keren begini masa harus diganti. Kesan pertama, lho. Harus kelihatan oke di depan dosen dan mahasiswa lain."

          Kedutan terasa di pelipis Vian. Ia tahan emosi dengan membuat cengiran yang semakin lebar. "Ini ... jurusan Mikrobiologi, Ray. Bukan Fashion."

          Semburan tawa yang tak terbendung lagi akhirnya meloloskan diri dari mulut Ray. "Iya, iya. Muka kamu jangan dianeh-anehin gitu, dong." Ia berjalan sambil memegangi perut ke tempat jas putih bergantungan. Sebelum menggantung jas cokelat muda kesayangannya, Ray mengelus terlebih dulu sambil berpikir betapa sayang jas necis ini jika tidak dipamerkan.

***

          Pukul 09:58. Meski kuliah belum dimulai, mahasiswa dalam ruang kelas Virologi sudah berkutat dengan materi pada masing-masing layar hologram di meja mereka, umumnya mengamati virus yang sedang menjadi epidemi di Indonesia—Virus Kinetoksis. Beberapa mahasiswa berdiskusi selagi wujud dari virus hasil dokumentasi mikroskop elektron itu mengisi layar hologram. 

          Satu orang di antara yang berdiskusi ini memperbesar tubuh virus, lalu menekan envelope20) sehingga terlihat bagian-bagian detail dari struktur virus. Lipid21) serta protein penyusun envelope ini begitu kompleks, memiliki banyak susunan, dan berukuran sangat kecil bahkan tak bisa ditembus dengan mikroskop elektron, sehingga melemahkan patogen dari struktur terluar ini saja diperlukan pembelajaran selama bertahun-tahun. 

          Diskusi mereka terpaksa dihentikan dulu ketika mendengar pintu kelas yang bergeser. Ramon sang dosen Virologi datang bersama Vian dan seorang mahasiswa baru yang mengekor di belakang. Vian beranjak ke kursinya, sementara si mahasiswa baru itu masih berada di samping Ramon. Ia terlihat begitu tinggi jika disandingkan dengan Ramon yang agak pendek dan tambun.

          "Selamat siang, semuanya." Para mahasiswa serempak menyahut. "Mulai hari ini kita akan secara terhormat mendapatkan tambahan otak dari seorang jenius yang kehadirannya sudah sangat dinantikan di BIU." 

          Ray merasakan dirinya sedang melambung. Dadanya sontak agak membusung dan senyum terpatri atas manifestasi dari rasa bangga. 

          "Sila perkenalkan diri Anda, Bung."

KATASTROFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang