Hope For The Future

Start from the beginning
                                    

Terlebih lagi ketika kami sedang menemani Dian melihat-lihat isi etalase kafe untuk memilih kue. Dia seperti ingin memamerkan kedekatan dan pengetahuannya yang lebih baik tentang Dian padaku. Dan jujur saja, aku mengakui bahwa aku cukup kesal melihatnya. Aku juga mengakui bahwa aku merasa cemburu dengan keakraban mereka berdua, terlepas dari status laki-laki itu yang memiliki kekasih dan hanya sekedar teman untuk Dian. Meskipun begitu, aku tidak bisa melepaskan perasaan gelisah terhadap laki-laki yang seperti memiliki perasaan dan maksud lain terhadap Dian itu. Sedangkan untuk Dian sendiri, well seperti biasanya, instingnya menjadi tumpul untuk segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Padahal biasanya dia cukup jeli dengan sikap atau perubahan perilaku orang lain.

Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan terkait hal ini. Jadi aku hanya bisa berharap bahwa Dian tidak akan menyadari sinyal-sinyal yang dilemparkan laki-laki itu padanya, apalagi sampai meresponnya balik. Mungkin perasaan seperti inilah yang di rasakan oleh Dian ketika aku membawanya bertemu dengan teman-temanku dan harus menelan mentah-mentah sikap kurang ajar Adam padanya, atau mungkin perasaannya berkali-kali lipat lebih buruk lagi dari ini. Sayangnya, aku tidak bisa berlama-lama menghabiskan waktu bersama Dian hari itu, sebab kakak laki-lakiku menelepon untuk mengatakan ada masalah dengan berkas perizinan untuk para wedding organizer dari Indonesia untuk pergi ke California.

Jadi, pada akhirnya, aku pun harus undur diri dari kafe itu untuk pulang dan menyelesaikan masalah ini. Lalu kenapa aku mau repot-repot menyewa wedding organizer dari Jakarta untuk pernikahanku di California nanti? Memangnya tidak ada wedding organizer yang mumpuni di sana? Well, alasannya ada sebab kami—aku dan ayah Dian—sepakat untuk menggunakan dua jasa wedding organizer yang berbeda untuk mengusung tema pesta pernikahan kami nantinya. Selain mengurus berkas-berkas perizinan untuk para wedding organizer dan keluarga Dian, aku juga berencana untuk meminta beberapa teman dekat Dian untuk ikut terbang ke sana menghadiri acara pernikahan kami.

Dari rencana yang aku persiapkan ini, aku bisa mengatakan dengan pasti bahwa aku tidak berniat untuk membatalkan rencana pernikahan kami. Justru aku meminta Orz untuk sebisa mungkin mempercepat proses persiapannya. Aku tidak memikirkan hal-hal lain seperti besaran dana atau usaha yang harus kukeluarkan untuk pernikahan ini. Sebab besaran material yang seperti ini tetap tidak ada bandingannya di mataku dibandingankan dengan kepuasan hati dan kegembiraan Dian. Mengingat pernikahan ini merupakan pernikahan pertama dan terakhir yang akan dialami Dian, jadi aku ingin sebisa mungkin membuatnya sebagai pengalaman sekali seumur hidup yang tidak akan pernah bisa Dian lupakan.

Ketika aku pulang, Wyatt sedang berdiskusi dengan Orz mengenai masalah perizinan yang sebelumnya sempat disampaikan oleh Orz. Kami berdiskusi untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk menelepon pengacara dan agensi tempat kami mengaplikasikan berkas-berkas perizinan mereka untuk diurus ke kantor imigrasi sesuai dengan solusi yang sudah kami putuskan bertiga. Selama sisa hari itu, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan putriku. Sementara Ethan sudah pergi keluar bersama Ryan sejak keponakanku itu datang seperti yang ibuku bilang saat aku menanyakan keberadaan mereka berdua.

Waktu berlalu dan sore pun menjelang. Perasaan tidak sabaran yang aku lalui sepanjang hari tadi demi menunggu pesan dari Dian pun akhirnya terbayar, karena akhirnya Dian menghubungiku untuk mengatakan bahwa mereka tidak akan makan malam di luar dan memintaku untuk datang menjemputnya dua jam setelah pesan ini masuk. Sebab, dia akan menonton film dulu sebelum pulang karena rencana menonton filmnya tadi siang batal mengingat tidak ada seat dengan posisi yang bagus tersisa di sesi pemutaran film siang tadi. Sehingga mereka harus memundurkannya di sesi lain yang masih tersisa seat dengan posisi strategis.

Setelah lewat setengah jam, aku mulai bersiap-siap untuk pergi keluar. Aku mandi, berganti pakaian, dan berpamitan pada ibuku untuk pergi menjemput Dian. Satu jam sebelum waktu penjemputan, aku sudah meninggalkan rumah dan mengendarai mobil untuk berjaga-jaga seandainya aku akan terjebak kemacetan jalanan ibu kota. Dan benar saja, jalanan cukup padat mengingat sekarang sudah mendekati jam pulang kerja untuk para pekerja kantoran. Namun, karena aku sudah keluar lebih awal, aku tidak terjebak lama di jalan, dan sampai di bioskop di dalam mall tempat Dian dan teman-temannya menonton film.

Teach Me How to be Gay! [Revised Version]Where stories live. Discover now