20

12.7K 2K 187
                                    

Seharusnya Kiran tahu apa yang akan terjadi jika ia dan Zahir melanggar saran dokter yang tak membolehkan mereka untuk berhubungan terlebih dahulu sebelum memasuki usia dua puluh minggu. Hanya untuk berjaga-jaga memang. Tapi tetap saja, saran itu harus didengarkan. Karena setelah mereka selesai meluapkan birahi yang telah membakar akal sehat, Kirani menyesalinya.

Ini bukan karena kandungannya langsung bermasalah. Semua baik-baik saja. Kirania tak merasa sakit, kram, atau pendarahan. Tapi ia mengalami pusing dan malu pada tingkah sang suami yang langsung memeriksa kondisinya.

Memeriksa apakah Kirania mengalami flek atau yang lebih parah lagi adalah pendarahan, atau wanita itu kesakitan. Kemudian setelah tak mendapati apapun, bukannya lega, Zahir melompat dari ranjang dengan raut khawatir dan penyesalan yang begitu kentara. Pria itu dengan perasaan tak tenang merayu sang istri untuk melakukan pemeriksaan ke dokter.

Uh! Kirania tak mau karena ia merasa ini baik-baik saja.

"Kalau periksa mau bilang apa, Arun? Dok, kami baru berhubungan. Mau memeriksa apakah bayinya baik-baik saja. Begitu?" Bertanya dengan selimut menutupi wajah, Kirania menutup mata kala terlihat sosok Zahir yang mondar-mandir di hadapannya.

Ia merasakan panas di pipi, tatkala sang suami berhenti tepat di depan wajahnya yang tidur miring di sisi ranjang.

"Bilang aja mau periksa. Kalau ngga mau di dokter biasa, kita bisa priksa ke dokter lain. USG sekalian. Ini demi kebaikan bayinya."

"Tapi aku ngga apa-apa, Arun."

Zahir kembali bergerak membuat Kirania sesak napas. Ia harusnya terpejam lama, namun sialan sekali otak kotornya memerintah untuk melihat pemandangan di hadapannya.

"Hanya memeriksa, Kiran." Lagipula pria itu merasa jika tadi ia tak melakukan sesuai janji.

Ya ... pelan-pelan yang lambat laun malah bergerak cepat-cepat.

Pria itu jadi cemas.

Bodoh!

Tadi saat masih berada di atas tubuh istrinya ia malah bersikap santai dan mengabaikan kenyataan ini.

"Aku akan merasa bersalah kalau bayinya kenapa-napa."

"Tapi aku ngga kenapa-napa, Arun." Uuh, Kiran meraih bantal untuk menutupi wajah karena selimut masih begitu mudah ia sibak tanpa ketahuan. "Sudahlah. Aku capek."

Sudah lama tak melakukannya, meski singkat, namun Kirania merasa tenaganya terkuras. Apalagi setelah tadi ia mereguk nikmat sebanyak dua kali.

Uh ... membayangkannya saja Kirania malu.

"Kamu yakin?"

"Yakin!" Kirania mengangguk.

Berdiri di depan wajah sang istri, Zahir sedikit membungkuk. "Kenapa? Ada yang sakit?" Kirania menutupi tubuh dan wajah dengan rapat. Apakah tak ingin ia melihat ekspresi kesakitan wanita itu? "Kalau sakit bilang, Kiran. Kita—"

Mendengkus kesal, Kirania menyibak selimutnya dan seketika tersentak kala melihat sesuatu di hadapannya. Namun segera menguasai keadaan, wanita itu mengerjap dan berdeham sebelum ia angkat pandangan ke arah sang suami yang dahinya kian mengernyit dalam. "Kamu bisa pakai baju dulu?" Kirania akan kehilangan fokus jika harus berbicara dengan Zahir yang tanpa sungkan mondar-mandir di hadapannya tanpa sehelai benangpun melindungi tubuh.

Sadar akan kondisinya, Zahir membeliak dan sontak langkahnya surut ke belakang, bersamaan dengan tangan yang menangkup ke arah selangkangan. Ia melindungi bendanya yang sudah begitu Kiran hapal bentuknya.

Tapi tetap saja ini hal memalukan dilihat oleh sang istri dalam keadaan begini. Memalukan karena sang istri malu. Dia ini berpikir apa?

Langsung meliarkan pandangan, mencari-cari di mana pakaiannya berada. Kirania yang masih mencuri pandang ke arah tangan sang suami yang berusaha menyembunyikan benda berharga pria itu, menelan saliva untuk membasahi tenggorokan yang kering, sementara tangan menunjuk ke arah pintu. "Di ruang tamu." Tadi Zahir melepaskan semua pakaiannya di luar, sementara Kirania baru melepaskan penutup tubuh kala ia dibopong oleh sang suami ke kamar. "Kamu bisa pakai yang ada di lemari dulu." Dia tak sanggup melihat lebih lama kepolosan tubuh Zahir yang menggoda.

Bumbu CintaWhere stories live. Discover now