Part 13

10K 1.9K 144
                                    

Berita bahagia yang tak bisa ditunda. Zahir maupun Kirania segera menghubungi orangtua mereka masing-masing yang sudah sangat menanti seorang cucu dari pasangan Kirania dan Zahir.

Bahkan meski langit menangis dan teriakan gunturnya memekakkan telinga, orangtua Zahir yang juga tinggal di Jakarta memaksa untuk datang ke rumah sakit, menjenguk menantunya.

Lantas di ruang rawat kelas dua yang kebetulan hanya dihuni oleh Kiran saja telah ramai dengan suara orangtua yang tak sabar untuk menggelar doa. Sebagai anak, hanya bisa menatap kebahagiaan orangtua yang telah merencanakan banyak hal. Zahir dan Kirania saling tatap dan cengiran lebar mereka tercipta.

Bayi belum lahir saja sudah seheboh ini. Bagaimana jika sudah lahir nanti? Padahal anak Kirania dan Zahir ini bukan cucu pertama di keluarga mereka masing-masing.

"Sudah jam sembilan. Mama sama papa pulang aja." Lalu Zahir melirik Fio sepupunya yang kebetulan menginap di rumah keluarga Zahir, yang tadi mengantarkan orangtuanya ke sini. "Fio, antar mama papa."

Menurunkan ponselnya, Fio yang sedari tadi sibuk sendiri segera turun dari ranjang kosong. "Okey." Lalu ia hampiri Kiran yang terbaring. "Gue pulang dulu. Ponakan dijaga baik-baik, ya?" Mengusap perut Kiran, Fio lantas bergerak duluan. "Ayo om, tante. Fio dah ngantuk ini."

Mengecup menantunya lebih dulu, Salma kemudian berpamitan pergi bersama sang suami yang segera menyelesaikan wejangannya pada Zahir.

Kembali senyap, Zahir dan Kiran berpandangan kembali dan kini senyum geli terpatri. "Mereka kayak belum pernah punya cucu aja," mulai Zahir yang duduk di sisi ranjang sang istri, lantas diam, kehilangan bahan obrolan.

Sepersekian detik waktu terbuang dengan saling bungkam. Hingga akhirnya Kirania menyerah, dan berpamitan untuk terlelap lebih dulu.

Bagus. Karena ini lah yang Zahir nanti. "Aku tidur di sana." Zahir menunjuk ranjang kosong, kala sang istri bertanya di mana Zahir akan tidur. "Semoga ngga ada pasien malam ini." Karena ia lupa meminta sang ibu membawakan kasur tipis untuk bisa tidur menemani Kiran yang mengaku takut sendirian di ruang inap, terlebih ketika malam.

Mencoba untuk terpejam, melawan keheningan yang terasa canggung dilalui. Meski selama tiga tahun, bergelut dengan keterdiaman, namun tak terasa seperti ini.

Tak peduli, mengurangi rasa dalam rumah tangga mereka. Hambar. Dan ketika perhatian mulai terbit, rasanya segala hal yang dilakukan, selalu terselip salah tingkah. Tak terbiasa, meski Zahir maupun Kiran, menikmati tiap momen perubahan sikap yang mereka ciptakan.

Ini ... Menciptakan gelenyar geli yang berbaur bersama hangat.

"Arun."

Tak menunggu lama untuk membuka mata, Zahir segera menoleh ke arah isterinya yang entah sejak kapan sudah tidur menyamping ke arahnya.

Jarak di antara mereka membuat Zahir begitu gemas, lantaran menghalangi dirinya untuk memeluk sang istri.

"Kenapa?"

"Akira mau cerai? Tadi mama cerita."

Ikut memiringkan tubuh berhadapan dengan Kiran. Arun mengangguk. "Sepertinya sudah ngga ada pilihan."

"Apa perjanjian nikah itu benar?"

Anggun mengangguk samar. "Aku senang orangtuaku tidak pernah ikut campur dalam rumah tangga anaknya."

"Ya." Kiran bergumam setuju. "Perjanjian seperti itu--"

"Membuat seorang pria seolah tidak dipercaya untuk bisa menjadi suami yang baik."

Kirania tersenyum.

Pernikahan yang diawali dengan perjodohan, selalu membutuhkan waktu lebih lama untuk saling beradaptasi dan terbuka. Bagaimana bisa, orangtua langsung memutuskan sebuah perjanjian perceraian, jika keduanya saja belum mencoba menjalani bagaimana pernikahan itu sendiri.

Bumbu CintaDär berättelser lever. Upptäck nu