Ketidak-adilan

94 44 37
                                    

Selamat membaca, jangan lupa vote🌟 dan comment💬
.
.
.

Ribuan lara tak pernah berhenti menghajarku.

Bahkan, sungai air mata pun sudah hampir mengering ditelan waktu.Aku lelah.

Rheina Faza Ayudya

Rhein mendengus kesal dengan tangan yang terlipat di dada. Sesekali sorot matanya menatap tajam ke arah pria yang sedang duduk di hadapannya.

"Sudahlah. Jangan memasang wajah seperti itu," pinta pria itu. Ia terkekeh geli, melihat Rhein yang menggemaskan.

"Not funny!"

"Yes, but i like it."

"KAKEK!!!" Ya. Pria yang menodongnya dengan pisau adalah kakek Rhein.

Bukannya memberikan alasan yang jelas, kakeknya tertawa puas. Karena ia sudah berhasil menjahili cucunya, Rhein.

"Tidak biasanya kakek menemui Rhein di jalan seperti ini. Apalagi dengan penampilan kakek yang aneh. Rambut dicat pirang, pakaian yang kakek kenakan pun sangat membuatku terheran-heran. Benar-benar orang tua yang menolak tua."

Pria tua itu, tertawa lagi. Kali ini dengan penuh kemenangan. Rhein semakin kesal. Kesabarannya semakin menipis.

Kakek Rhein, Gerald Anthonio Alesta. Ia sering sekali menemui Rhein dengan penampilan yang berbeda. Bahkan, Rhein sendiri kesusahan mengenali kakeknya. Entah apa tujuan Gerald melakukan hal unik seperti itu.

Kakek Rhein merupakan seorang pengusaha yang sangat sukses di bidang properti. Pengaruhnya dalam dunia bisnis sangat kuat. Tidak ada yang berani bersaing dengannya. Bahkan musuh-musuhnya pun tunduk padanya. Namun, ada satu rahasia besar yang belum Rhein ketahui.

Rhein menggebrak meja dengan wajah kesalnya, "Jangan membuatku menunggu, Kakek! Jawab Rhein. SEKARANG!"

"Rhein. Jangan merusak meja yang indah ini dengan tanganmu. Meja ini sangat berharga daripada tanganmu." Ucapnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan cafe. Orang-orang mulai memperhatikan kakek dan cucu yang sedang berdebat itu.

"What? Are u kidding me?" Rhein mulai memperlihatkan ekspresi tidak percaya.

Gerald terkekeh, "Baiklah-baiklah. Kakek ada urusan di sekitar sini dan kebetulan melihatmu bersembunyi di samping mobil."

Rhein mengerutkan dahinya. Mata elangnya menatap tajam dan mulai mengintimidasi kakeknya. Mencari celah kebohongan di mata kakeknya. Namun, pencariannya tak berhasil.

"Jangan-jangan, kakek mau jadi penguntit Rhein ya? Hayo ngaku!"

"Apakah kakekmu ini masih pantas menjadi seorang penguntit? Pekerjaan kakek lebih berguna daripada buntutin kamu. Dan juga kakek terlalu lemah untuk melakukan hal itu."

"Kakek kan menolak tua."

"Percayalah padaku Rhein."

"Sesat."

"Hey!"

"Meskipun kakek sesat, tapi Rhein tetap SAYANG," Sahut Rhein dengan penekanan di akhir kalimat.

"Kenapa kakek bisa punya cucu menyebalkan sepertimu, Rhein."

Rhein tertawa geli mendengarnya, "Tapi kakek tetap peduli sama Rhein, kan? Tetap sayang sama Rhein? Dan akan selalu menerima keadaan Rhein, kan?"

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal seperti itu, Rhein?" wajah Gerald mendadak berubah menjadi serius.

"Tidak ada. Rhein hanya ingin memastikan, kalau kakek benar-benar menganggapku ada. Meskipun, penampilan kakek sering berubah-ubah dan terkesan sangat aneh. Rhein percaya, kakek tidak akan pernah berubah padaku." Rhein mengatakannya dengan senyum sumringah.

GAME OVER (END) TAHAP REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang