Dia menunduk dalam bersama senyumnya. Si gadis pula hendak melantun tawa sebagai bentuk kebahagiaan tak terkira dalam rasa syukurnya. Namun, alih-alih keluar lantunan yang ia harapkan, sekali lagi air mata menetes dari sepasang mata yang terpejam.

"Yang Mulia ...." Demikian ia tersedu-sedu melukiskan kelegaan teramat sangat.

Ah, begitu cepat ia menyelesaikan teka-teki kecil sebagaimana ia mengendus aroma Wrenyasa dan Rtutrye yang baru berpulang. Serentak batin wanita kembar melantun takjub, mereka perlebar senyum mereka.

Pada akhirnya mereka menghampiri sosok yang tengah dirundung sendu. Masing-masing tangan mulai menangkup wajah si gadis, mengusapi pipinya yang basah sebelum mengangkat pandangnya.

"Kupatutkan maaf kepadamu, Rin. Kami terlambat," ujar Shi lirih, yang tanpa disangka disambut gelengan cepat oleh si gadis yang belum habis terisak.

"Oh, Yang Mulia ...." Sebentar Rin—gadis belia yang malang—menjeda guna mengendalikan sengguk. "Hambalah yang semestinya memanjatkan permohonan ampun atas kelalaian hamba berpikir panjang. Sungguh, besar dosa hamba mengabaikan segala kenikmatan dari Sang Pencipta serta Dewa dan Dewi-Nya simpankan untuk hamba."

Baik Zhu dan Shi, terenyuh mendengarkan ungkapan si gadis. Betapa tidak. Bahkan tanpa ingatan yang ia buang di Kerajaan Langit, masihlah ia memelihara sifat ketaatan yang begitu manis. Saling bergantian mereka mengecup kepalanya sebelum utuh serentak menghamburkan pelukan.

Mereka membiarkan Rin menghabiskan sedu sedan dalam kehangatan.

Pada akhirnya angin sejuk menerpa wajah si gadis, pula terhirup sejuta semerbak bunga yang menyegarkan sukses mengundang maniknya terbuka. Warna keemasan di sana penuh menggambarkan gemilang dari silau mentari di Bulan Ceri.

Tak lagi ia dapati sosok Zhu dan Shi yang baru saja memeluknya. Lekas ia menyapu pandangan, mengabaikan tiap kelopak bunga yang rontok menari-nari mengikuti arah angin. Dia berhenti berputar dan meneliti sampai ia menemukan sepasang kupu-kupu hitam dan putih terbang menjauhinya.

"Sepercik cahaya jelas tidaklah cukup dijadikan upah atas kesabaranmu melewati lima langkah yang begitu panjang." Begitu satu dari dua suara wanita kembar berujar seiring maniknya terus mengekor ke mana sepasang kupu-kupu hendak melintas.

Demikian satu suara lain lekas menyambung, "Maka kemarilah, harapan kecil yang manis. Mari, bersama-sama melanjutkan perjalanan kecil ini barang sebentar."

Rin segera mengambil langkah, membiarkan tapak kaki yang telanjang basah akibat menyusuri rerumputan yang dihuni embun.

Tidak membutuhkan waktu lama dirinya tertarik pada suara gemerisik renyah. Muasalnya dari daun kering yang tak sengaja ia pijak. Begitu ia kembalikan menatap lurus, takut sepasang kupu-kupu dua warna itu hilang dari pandangan, ia telah disuguhkan oleh pemandangan musim gugur di pertengahan Bulan Maple.

Beberapa langkah selanjutnya telah dihadapkan pula Rin kepada musim dingin yang begitu menyejukkan. Uap hangat bahkan tak segan timbul setiap ia mengembus napas. Wajahnya bahkan sampai memerah usai cukup lama mengarungi dingin.

Sejenak Rin menghentikan langkahnya, menahan gigil tak terkira. Mengusap lengan pun tiada guna, sebab setiap jengkal tubuhnya telah dikuasai beku. Sulit ia menguasai kaki yang gemetar untuk terus berdiri, maka ia lekas terjatuh dengan lutut.

Saat itu, sampailah ia persis di ujung jurang yang curam. Kehangatan kembali menjalar, tetapi lama-kelamaan panas yang menggerahkan kian mendominasi.

Begitulah pemilik rambut panjang senada batang pohon mahoni itu membuka kembali sepasang matanya. Pun, tidak membutuhkan waktu lama, ia terkesiap atas segala-gala yang tersuguh di bawah kakinya.

Seeressजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें