IV. Penantian Sepercik Cahaya [2/3]

25 9 3
                                    

Tujuh belas tahun hidup dengan penuh ketentraman jelas merupakan anugerah yang paling disyukurinya. Lantas sirna semua ketenangan itu, ia dikejutkan oleh tragedi dalam sehari hingga terpisah dari keluarganya, lalu terlempar ke tempat asing yang dikelilingi oleh padang pasir.

Seribu sayang, kekejaman takdir tidak berhenti di sana.

Maka dengan penuh gentar yang terlihat di bibir, ia tuturkan sejumlah penyiksaan yang mengguncangnya; yang membuatnya hampir terlupa siapa ia. Ya, itulah mimpi-mimpi yang senantiasa menghantui pikiran, lagi mengikis sisa kewarasan yang tanggal.

Siapa sangka manusia bisa terus bertahan menanti sepercik cahaya? Di balik pelindung kepala, sepasang manik kelabu memandangi sosok yang terus bercerita di hadapannya.

Tidaklah ia menyangkal betapa takjub batinnya. Hingga bertahun-tahun Arslan berjuang mencari kandidat yang pantas, sejauh ini hanyalah Ravn yang percaya akan janji yang ia ikrarkan.

"Sungguhkah itu cukup untuk mengenaliku?"

Betapa pun, pastilah masih tertinggal prasangka di dalam diri Ravn.

Akan tetapi, justru si pria berbalut baju zirah itu enggan mengambil pusing. Lekaslah Arslan mengangguk mantap sebagai jawaban.

"Aku memang tidak pernah ada di setiap mereka menoreh trauma padamu, Fu Xun," ucapnya. "Namun, aku selalu mengerti keseluruhan alur tanpa harus menyaksikannya secara langsung."

"Bagaimana mungkin?"

"Bahkan dinding menara ini memiliki mata dan telinga, bukan?"

Begitu pula dirinya, sambung Ravn dalam hati.

Hal yang lumrah jika orang-orang yang berhasil memanjat hingga tingkatan lebih tinggi—atau setidaknya lebih lama di sini—memiliki kaki tangan, entah itu merupakan hadiah dari pimpinan, maupun didapat dari perekrutan sembunyi-sembunyi.

Jelas Arslan menggunakan mereka sebagai pemantau dan pendengar selama ia tak menampakkan batang hidungnya dalam lima tahun ini. Bagi Ravn, tentu siasat pria tersebut merupakan tindakan di luar dugaannya.

Namun, dengan begini, Ravn bisa menarik satu kesimpulan.

"Kau tampak sangat serius ingin membebaskanku dari cengkeram orang-orang sinting ini," ujarnya sembari bersedekap. "Kumohon jangan ambil hati. Namun, dalam penantian dan pengawasan yang kau lakukan selama lima tahun, pasti kau juga menginginkan sesuatu dariku."

Tanpa pemilik manik karamel tahu, senyum miring tersungging di balik pelindung kepala itu.

"Tampaknya ada yang enggan berbasa-basi."

"Bukankah kau juga sama?" tukas Ravn segera. Mulailah ia duduk bersila. "Tidak mungkin kau mau datang lebih cepat dari waktu perjanjian hanya untuk berbasa-basi. Seingatku, kita masih memiliki waktu dua pekan."

Lagi-lagi pria muda itu tepat sasaran.

Konon berbasa-basi bukanlah keahlian Arslan, tentu menyelamatkan Ravn dalam waktu dekat juga bukan alasan mengapa ia datang lebih cepat. Sebab jika memang demikian, ketimbang memberikannya pengawasan, sepatutnya Arslan membantu Ravn keluar dari sini sejak lama.

"Ini waktu yang paling tepat." Pada akhirnya Arslan menerangkan. "Kau sudah cukup matang dalam penguasaan Aora dasar dan mampu mengendalikan elemen hingga titik paling stabil. Ditambah, pastilah kau tidak ingin menjajah persis di hari ulang tahunmu, bukan?"

Mendengar alasan terakhir dari Arslan, Ravn menarik senyum miring.

Memang, nyaris mencapai ratusan kali ia dilempar untuk melaksanakan perburuan, setiap bau darah orang-orang tak berdosa selalu menghantuinya. Pekik dan tangis mereka bahkan menghantui setiap langkahnya, mengundang seisi kepala memikirkan potongan-potongan masa lalu yang tak menyenangkan entah untuk yang keberapa kali.

SeeressWhere stories live. Discover now