III. Jejak Dalam Lima Hitungan [1/4]

41 11 17
                                    

Seluruh penghuni panti asuhan telah terlelap, berikut para penduduk di wilayah utara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seluruh penghuni panti asuhan telah terlelap, berikut para penduduk di wilayah utara. Sepatutnya para ibu asuh juga melaksanakan hal serupa usai melewati hari yang panjang, tetapi kala terus mendapati masing-masing terperangkap dalam pemandangan yang mengerikan, bagaimana mungkin mereka mampu beristirahat dengan tenang?

Hujan baru saja berhenti setelah beberapa menit berselang. Namun, tiada satu pun di antara mereka mendapati tanah dan tanaman basah karenanya. Belum lagi salah seorang ibu asuh menunjuk ke arah matahari yang begitu terik di langit malam. Selanjutnya, mereka disuguhkan dengan perputaran langit yang cerah berhias hamparan bintang gelap terpampang jelas.

Semua terjadi secepat kilat, lantas tiada henti para ibu asuh saling bertukar pandang, berbagi kekhawatiran terhadap sosok yang sama di dalam pikiran.

Saat itulah Aster menghampiri mereka bersama seikat rambut hitam berhias semburat helaian kelabu. Dia tampak tersengal, pula gerakannya patah-patah. Setiap kali berkedip, sekilas netranya berubah warna menjadi semerah darah. Pun, iris Aster yang berbintik-bintik kian menghitam seiring waktu berjalan.

Makin dekat ia dengan kerumunan ibu asuh, beberapa bagian tubuhnya mulai rusak; satu lengan terlepas, terdapat lubang yang terus mengikis seisi perut yang kopong, belum lagi warna rambut yang senada dengan kulit anggur kian memudar.

Masing-masing menahan napas memandanginya terus berjuang untuk bersatu dengan kelompok. Betapa tidak. Bahkan cerminan sang Penjaga Utama bagi Alam Khayal tidak lagi mampu memasang topeng untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja sekarang.

Jelas, tiada lagi harapan tersisa bagi tempat ini pula.

Kala bersama-sama mereka menyusul pandangan Aster yang mengarah ke langit yang terpecah bagai retakan kaca, akhirnya mereka utuh pasti pada satu hal. Pikiran itu pula mendorong mereka untuk saling bergenggaman.

Demikian mereka memberi jalan kepada Aster untuk masuk ke dalam lingkaran sementara angin mulai berembus kencang mengarah kepada lubang di langit, seolah siap mengisap seisi Alam Khayal.

Dedaunan, genteng dari setiap atap bangunan mulai terangkat; melayang bagai terserap oleh lubang di langit. Para ibu asuh lekas saling menguatkan diri, pula mempererat setiap genggaman yang terjalin sementara menunggu Aster mengangkat tinggi-tinggi seikat helai rambut sahabatnya.

Potongan rambut itu bersinar, lekaslah Aster lepas ikatannya, membiarkan terburai dibawa angin.

Tidaklah lagi ia peduli dengan sekitarnya yang terkikis dimakan cahaya; para pemimpi, semua ibu asuh, seluruh bangunan, hingga rerumputan. Justru ia merasa lega memandang semuanya sirna sebelum hancur dipandang mata kepala sendiri, serta mereka, para pemimpi yang bertamu, kelak kembali dengan selamat.

Meski begitu, tetap saja relung hati masih mengkhawatirkan sosok yang tak kunjung kembali.

Dia masih berada di dunia nyata. Seribu sayang, tidak lagi memiliki tubuhnya secara utuh. Jantungnya—inti yang sedari tadi diincar Enfierno—ikut terbakar bersama pohon persik tua. Tinggallah sosoknya yang bagai pahatan kayu membentuk seperempat kepala dengan mata yang utuh terpejam tergeletak di tanah.

SeeressWhere stories live. Discover now