Febrianto berdehem. "Dimaklum atuh hadirin hadiroh, masa kecil ayah kurang duit. Dulu di Bandung ayah nggak punya sepeda, naik itu tuh daun pisang. Itu juga daun dari pohon pisang punya tetangga."

Tawa kembali terdengar. Febrianto melirik Rai, hati seoarang ayah jelas sedih melihat putrinya hanya diam tanpa ekspresi. 

Di Jakarta suara dengkingan jangkrik jarang-jarang terdengar, bahkan Rai yakin capung dan jenis hewan terbang lainnya sudah langka.

Seperti malam sebelumnya, di kamar yang lampunya sengaja ia matikan semua Rai melamun, menatap atap langit dengan pandangan kosong.

Sikap drastisnya ini berdampak besar bagi orang sekitar. Mata Rai terpejam, membuang nafas panjang, ia tidak boleh terus-terusan seperti ini.

Jam dinding menunjukan pukul satu malam. Rai bangkit dari ranjang berjalan keluar mencari abangnya.

"Abang...." Kale menoleh, membuka kacamata baca dan tersenyum.

"Belum tidur?"

"Maaf, bang."

"Siapa yang gangguin kamu tidur, nyamuk?" Kale mengalihkan topik.

"Maaf aku susahin selama ini," lirih Rai. "Maaf udah biarin Abang pusing sendiri ngerjain skripsi aku yang malah sibuk sedih sendiri."

"Ca udah capek kalau nangis lagi. Nanti kepala kamu pusing," balas Kale mengusap air mata adiknya. "Nggak ada yang kamu susahin, Abang seneng ngerjain skripsian kamu. Nggak papa."

Walau terlihat cuek Rai tahu semua, senang bagaimana? Kale lulusan sarjana ekonomi sedangkan yang ia kerjakan materi hukum. Melenceng jauh dari perekonomian.

Kepala Rai menggeleng-geleng. Menggenggam erat tangan abangnya. "Aku janji besok bakalan berubah, nggak mau nyusahin siapapun lagi. Janji bang janji."

Senyum Kale terbit laksamana mentari pagi, menghangatkan hati. Menarik Rai dalam dekapannya, memberikan apresiasi atas niat yang baik tersebut. "Abang bener, biru di atas nggak akan seneng liat aku sedih."

*******

Pagi cerah kali ini satu keluarga tersebut sibuk. Rai tersenyum manis melihat pantulan dirinya dikaca. "Cantik anaknya Bunda!" puji Risa yang selesai memakaikan anting.

Ia akan menghadiri acara pernikahan teman abangnya -si jawa-, tiga teman Kale dulu cukup dekat dengan dirinya.

Pujian kembali terdengar saat ia turun ke bawah, mereka tidak bohong. Kebaya warna biru tua dengan polesan make-up tipis di wajah Rai membuat kecantikannya bertambah. Betul, kebaya ini adalah kebaya wisuda yang gagal ia kenakan bersama Xabiru. Sesuai janjinya Rai akan berubah. Berdamai dengan rasa sakit.

Balas tersenyum ramah pada mereka. "Ni papa hantu yang kemayin?" iseng Aurora yang ada di gendongan Kale menggoda kakaknya.

Semua tertawa. Rai memelototi Aurora galak, mereka jarang sekali akur. "Awas kamu, kakak gigit semut!" ancam Rai, anggunnya hilang beberapa detik.

Sampai di tempat resepsi kediaman rumah mempelai Kale menarik adiknya untuk menemui Abang-abang Rai di ruangan pengantin laki-laki.

"E-yo wazap maba!" sapa Epot ramah, menyengir.

"Beuh, gila cakep bener bini gue?" goda Bule, mengedipkan satu mata.

Jawa tersenyum kalem. "Eh duduk ca, le," kata Jawa tidak kalah ramah. "Pot anjing yang bener kipasin gue, pengantin nih."

Rai terkekeh geli, teman-teman abangnya tidak pernah berubah. "Biasa aja napa Jawa nggak usah ditegasin pengantin, lo nyindir gue?" cetus Bule yang masih menyendiri.

XABIRU [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें