Part 23

7.2K 590 50
                                    

Gadis itu menghela nafas, menimbang apakah dia perlu menghentikan langkahnya dan berbalik, atau melaju saja toh dia tahu Aben baik-baik saja. Jiwa dan raga.

"Dyta Mirasya!" ulang Aben.

Dyta mendesah, marah pada dirinya sendiri. Dia berhenti dan berbalik. Tak ada senyuman di wajah Aben, hanya matanya yang menatap lurus seperti ingin memangsa.

"Aku kangen sama kamu dan aku pengen banget meluk kamu sekarang!" ujarnya. "Dan aku tahu itu juga alasan kenapa kamu datang ke sini sekarang!" Aben menunjuk Dyta. "Jadi, jangan berlagak bodoh atau cuek lagi sama aku, Dyta. Jangan bertingkah seolah kamu baik-baik saja karena aku hancur. Aku sudah kayak orang bodoh, sudah kayak anak SMP yang diputusin pacar pertamanya sampe aku butuh lari, kabur dari kamu. Sadar nggak?"

Aben melangkah mendekat "Aku tahu kamu juga nggak bisa marah sama aku. Dyt, kita sudah terbiasa bersama. Sumpah, aku nggak bisa sekarang Dyta, jangan sekarang. Seenggaknya kamu kasih aku kesempatan sekali lagi."

"Sampe kapan?" tanya Dyta.

Aben menarik nafas "Aku nggak tahu. Karena kita akan menjalaninya bersama."

"Itu yang kamu bilang kemarin, kesempatan kedua?"

"Dyta, kemarin sudah selesai. Permainan sudah selesai. Aku butuh sekarang, bukan kemarin! Yesterday is over, it's a different game!"

Perasaan mereka sama-sama kacau. Keduanya berhadapan dengan badai dalam hati masing-masing.

"Sekarang..." Aben mendekat, makin dekat dengan Dyta dan gadis itu sama sekali tak menarik dirinya untuk mundur. "Aku akan senang sekali kalau kamu seenggaknya nanya aja... kabar aku gimana," kata Aben pelan. "Itu aja."

Dyta memainkan ujung kuku telunjuknya, menunduk. Dia tak butuh formalitas seperti itu. Sesungguhnya, dia sudah bersyukur melihat Aben beberapa jam lalu. Maka, pertanyaan itu sudah tak penting lagi. Namun nyatanya, keseluruhan diri Aben tak sebaik itu.

"Dyta?"

"Apa kamu baik-baik aja?"

Aben menjulurkan dua tangannya, menarik tubuh Dyta untuk dipeluknya. Dia menghirup aroma gadis itu, merasakan dirinya sedekat itu dengan Dyta. Aben membenamkan kepalanya di bahu Dyta, bernafas disana.

Namun, pelukan itu terpaksa dilepas Aben lantaran dia merasakan tangan Dyta yang tak pindah dari sisi tubuhnya sendiri.

Dyta tak membalas pelukan itu.

"Oke," kata Aben mengangguk. "Aku baik-baik aja."

Dyta menggigit bibir bawahnya, menahan desakan di balik kelopak matanya lagi "Sialan!" hujat Dyta tertahan.

"Kamu sudah bilang itu dari tadi, aku sudah dengar!" kata Aben.

"IYA!" bentak Dyta "Karena kamu memang sialan! Kamu pantas diingetin kayak gitu. Betapa jahatnya kamu dan kayak apa sialnya aku sekarang karena kamu!" pekiknya.

"Dyta, maaf tapi ini rumah aku, dan rasanya nggak sopan kalau kamu marah-marah kayak gitu disini." ujar Aben masih kalem, sepertinya dia tahu siapa pemenangnya.

"Aku nggak peduli, aku nggak peduli!" desak Dyta. "Dengar ya Ben, lantaran aku kayak gini di depan kamu, jangan kamu pikir kalau aku akan ngasih kamu kesempatan lagi. Dengar?" Dyta terisak. "Jangan pikir karena aku juga kangen sama kamu, kita akan jalan bareng lagi!!"

Aben mengangguk "Aku tahu." dia merentangkan dua tangannya di depan Dyta.

Dyta mendengus, lalu maju memeluk tubuh Aben. Pelukan yang diterima Aben, juga diterima Dyta "Fuck you!" umpat Dyta.

Tukar PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang