Part 22

6.5K 583 33
                                    

Ada banyak kemungkinan bermain-main dalam pikiran Dyta dan itu mengerikan. Jadi, Aben sengaja mengajak atau mungkin menatang Gugi untuk naik gunung lantaran dia tahu Gugi tidak pernah naik gunung. Lalu di gunung, atau sepanjang jalan mereka mendaki gunung, sesuatu mungkin terjadi. Apa begitu kejadiannya? Atau yang lain, kalau Gugi sebenarnya tidak naik gunung dan hanya Aben? Ini tak lebih baik namun lebih mengerikan!

"Brengsek!" seru Willy yang menegang di bangkunya. Jarinya melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.

Dyta dan Jay yang masih berada di dalam mobil melongokkan kepala keluar jendela. Kemudian, Jay menyusul Willy. Membuka pintu dengan cepat bahkan tanpa sempat menutupnya.

Dyta menelan ludah. Inilah yang lebih mengerikan itu! Dia sudah tahu, dia sudah membayangkan ini. Aben adalah laki-laki yang tumbuh dengan sifat gentleman luar biasa. Bagaimana bisa dia berjudi dengan nyawa orang lain. Dia terlalu jantan untuk bertindak banci seperti itu. Dia tak mungkin melawan seseorang yang tak sekelas dengannya dalam suatu hal.

Dia tak akan bersikap seperti pengecut. Karena dia tahu Gugi tak pernah naik gunung, maka dia tidak akan bawa anak itu naik.

Tidak. Akan.

Mustahil Aben akan repot-repot seperti itu. Dia tahu batasan, karena dia pria gentleman yang sadar kelemahan lawannya. Karena dia tahu Gugi bisa berkelahi seperti laki-laki kebanyakan, jadilah dia menantang Gugi berkelahi. Bukan naik gunung.

Tapi setelah semua itu, setelah melihat Gugi berada disini, dia membantu Dyta menarik satu kesimpulan. Dan kesimpulan itu jelas sekarang.

Ini berarti: Aben sendirian!

*

Egoislah yang mengantarkan Dyta pada titik ini. Penyesalan.Tiga hari tanpa tahu dimana Aben. Apa dia sedang mengerjakan kesenangannya seoarang diri, atau dia pergi entah kemana, mencelakakan dirinya. Cintanya memang buta kalau begitu.

Hanya sebuah taruhan awalnya. Hanya permainan bagi Aben untuk memenuhi keinginannya. Harusnya, Dyta tahu dari awal ada yang aneh dengan Aben. Dia menjadi pengagum cowok itu selama hidupnya berstatus siswa SMA. Tentu saja aneh kalau pas kuliah, baru mereka jadian. Harusnya, Dyta tahu kalau Aben juga yang akan mematahkan hatinya, menghancurkannya berkeping-keping. Hanya sebuah taruhan.

Begitu dia mengaku dirinya bodoh, dia juga tahu kalau dia tak bisa melupakan Aben begitu saja. Tak peduli seperti apa dia mau marah, kehilangan Aben malah menempatkan dirinya dalam posisi paling menyakitkan.

"Dia bakalan balik kok, Dyt.Tenang aja," ujar Ranti seraya menepuk tangan Dyta.

Dyta diam saja, termenung.

"Udah tiga hari," ujarnya pelan. "Seenggaknya dia bisa aktifin handphonnya kan? Naik gunung apa sih selama itu?" tanya Dyta. Pertanyaan yang bikin dia mikir apa saja bisa terjadi saat Aben naik gunung sendirian.

Jay mendengus, menghela nafas "Dia sudah kelewatan, kan?"

"Aku mau ke rumah Aben." kata Dyta pelan.

"Ngapain?" tanya Kyora. "Dyta.."

"Aku anter," kata Willy menawarkan diri.

Dyta menggeleng "Um, aku sendirian aja, please." katanya.

Siapapun itu, mereka membuat kesalahan dalam hubungan cinta. Begitu juga Aben. Bagi Dyta, kesalahan Aben adalah fatal. Maka dia pantas dapat hukuman. Namun, rupanya bukan hanya Aben yang dihukum. Merasakan hal yang tak karaun seperti sekarang, dia merasa dia mendapatkan hukuman yang lebih berat. Dia seperti ditelantarkan. Perasaaannya ditinggalkan sendirian terkunci dalam sebuah ruangan hitam dan kedap udara. Rasanya sangat sakit dan ingin lari. Dia tak punya kunci, kecuali bertemu dengan Aben. Bukan Aben kuncinya, tapi pertemuan dengan Aben.

Tukar PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang