Chapter 8

40 13 0
                                    


Karena pelaut hebat tak pernah lahir di laut yang tenang.

Hivi! - Jatuh, Bangkit Kembali!

***

Banyak jalan menuju Roma.

Aku memikirkannya semalaman dengan gelisah. Raja bilang, banyak jalan menuju Roma, tetapi jalan satu-satunya menuju Universitas Rajawali adalah SBMPTN karena aku pasti tidak mampu untuk membayar biaya kuliah jika masuk lewat ujian mandiri.

Keningku agaknya mengerut saat membaca deretan kata pada layar ponselku. SBMPTN tahun ini dikenakan biaya 200.000.

Bisa gratis, untuk penerima bidikmisi, sementara aku tidak mengajukan bidikmisi sebelumnya.

Dua ratus ribu itu, bukan nominal besar, kan? Tidak akan memberatkan Mama, kan? Mama sendiri yang ingin aku masuk Rajawali seperti Papa. Kalau aku lolos SBMPTN, maka aku hanya perlu memikirkan ukt saja, bukan?

Tadinya aku akan berbicara pada Mama pagi ini, namun urung.

Aku baru saja terbangun ketika mendapati Mama tengah memeriksa dompetnya dengan ekspresi sendu. Diam-diam aku mengamati, tidak ada lembaran uang besar di sana, digantikan dengan lembaran uang receh yang lecek karena sering dilipat asal. Mama menghela napas pelan, lalu bangkit dan menjatuhkan selembar kertas.

Daftar belanja hari ini.

Mama menekan biaya belanja. Biasanya kami bisa beli setengah kilo ayam untuk makan, tetapi akhir-akhir ini kami menjelma menjadi vegetarian.

Mungkin ini efek warung yang mulai sepi, tidak seramai waktu awal buka.

Dua ratus ribu.

Uang jajanku juga sudah habis. Bagaimana cara aku mendapatkannya?

"Sahara!"

Suara Mama membawaku kembali dari perseteruan isi kepalaku. Sambil menggosokkan handuk pada rambutku yang setengah basah, aku melangkah menuju warung. "Kenapa, Ma?"

"Raja tuh," jawab Mama sebelum kembali menghitung belanjaan Bu RT. Kepalanya mengarah ke teras depan.

Dengan malas, aku meneruskan langkah ke depan dan mendapati Raja tengah mematikan mesin motor. Oh, dia punya motor ternyata, kupikir tidak punya karena waktu itu naik angkot. "Kenapa sih?"

Dia melepas helm Bogo-nya, menyugar helaian rambutnya yang ke belakang. "Temenin gue beli alat gambar yuk? Nanti gue traktir mi ayam."

"Sekarang banget?" Aku mengernyit. Ada angin apa?

Raja mengangguk cepat. "Buruan."

Padahal aku belum menjawab mau atau tidak, tetapi perintahnya barusan seakan-akan mendoktrinku untuk lekas bersiap-siap. Setelah mengganti baju dengan kaos dan celana jeans sepanjang mata kaki, aku keluar lagi sembari mengucir rambutku.

Hari itu, untuk pertama kalinya aku berada di boncengan Raja. Untuk pertama kalinya aku berada di jarak terdekat dengannya dalam waktu yang cukup lama. Dan hari itu, untuk pertama kalinya aku menyadari aroma wangi khas Raja, seperti deburan air laut di musim panas. Bagaimana cara menjelaskannya? Terasa menyengarkan, apalagi saat angin berhembus menerbangkan aromanya.

Bukan. Bukan bau matahari gosong, ya. Oke, aku memang tidak jago mendeskripsikan sesuatu.

Tetapi aroma itu, cocok dengan Raja yang hidupnya santai. Bagaimana dia bisa menemukan sesuatu yang sangat cocok dengan dirinya? Seperti sebuah trademark? Sesuatu yang membuat orang lain teringat dengan dirimu.

Time-LagWhere stories live. Discover now