Chapter 6

47 12 0
                                    

Hari ini adalah hari pertempuran dan penentuan.

Semua orang sibuk menenangkan diri masing-masing sembari menunggu apel pagi dimulai. Diandra berdiri di sampingku dengan gelisah, papan ujiannya diletakkan di atas kepala sementara bibirnya terus berkomat-kamit melafalkan berbagai definisi majas supaya tidak lupa dan terus melekat di kepalanya.

"Kenapa bawa papan sih? Kan pakai komputer?" Akhirnya aku gerah juga untuk tidak bertanya. Entah sejak kapan, papan ujiannya justru membuatku sakit kepala karena terbayang ribuan soal yang kukerjakan sebelumnya.

Diandra melirikku dengan raut jengah, "ya enggak apa-apa, sugesti aja."

Dasar aneh.

Aku berpisah dengan Diandra saat apel pagi dibubarkan. Karena jumlah siswa-siswi dibatasi dalam setiap ruangan, Aku dan Diandra mendapat ruang berbeda. Saat sendirian begini, aku menyadari kalau aku juga sama gugupnya dengan Diandra tadi.

Pengawas dari sekolah lain memasuki ruangan, membacakan peraturan sebelum akhirnya memberi aba-aba untuk mulai log-in dan mengakses soal.

Semuanya masih berjalan lancar meskipun jantungku terus berdebar-debar dan tanganku mulai dingin. Untung aku tidak mengalami sindrom sakit perut seperti beberapa orang di ruanganku. Lewat dari lima belas menit, aku sudah mulai tenang mengerjakan soal. Jujur saja, saat mengerjakan ujiannya ternyata tidak terlalu menegangkan. Mungkin karena sudah terbiasa ikut try out simulasi. Dibandingkan soal-soalnya, aku lebih khawatir mengenai teknis dan jaringan sebenarnya.

Hari pertama, UNBK Bahasa Indonesia berjalan lancar. Aku dan Diandra menyempatkan diri untuk saling mengeluarkan keluh kesah di kantin sambil minum es kelapa. Bagian paling kebetulannya ketika kami malah bertemu Ecan dan Djendra dan mereka malah ikut gabung nyambat.

"Ruangan gue tadi enggak bisa log-in," adu Diandra. Rambutnya disanggul acak-acakan menggunakan pensil 2B "Panik banget dong seruangan."

"Terus gimana?" Aku yang beda ruangan bertanya. "Nangis nggak lo?"

"Untung pengawasnya tanggep banget disuruh refresh bisa," timpal Diandra dengan nada lemas. Kepalanya kini jatuh di meja kantin berbarengan dengan helaan napas berat. "Ya Allah gue masih gemeter."

"Lo ada soal kalimat resensi nggak sih? Yang tentang jembatan suramadu?" Ecan bersuara setelah daritadi menyimak. "Bangke banget, gue macet di situ."

"Ngecoh ya?" tanya Djendra. "Gue kayak yang ngerasa jawabannya bener semua."

"Bingo." Aku mengangguk setuju. "Harus dibaca berkali-kali."

"Demi Allah, plis jangan bahas soalnya bisa kali!" Diandra berseru kesal pada Ecan yang masih sibuk berdiskusi mengenai soal ujian dengan Djendra. "Bikin panik tau enggak?"

"Jawaban lo banyak yang beda ya, Di?" selidik Ecan, membuat Diandra semakin mencebik kesal. "Soalnya banyak yang mirip sama try out tau, sebenarnya, gue nge-blank mendadak aja, makanya jadi bingung."

"Makanya jangan dibahas. Yang udah lalu biarlah berlalu."

"Mana pengawasnya serem." Djendra berdecak pelan. "Yang di kelas gue beneran deh, yang kedengeran suara sol sepatu dia doang."

Soalnya lumayan gampang, hanya saja sedikit mengecoh. Pengawasnya juga dari sekolah lain sehingga menambah ketengangan. Pandanganku lantas beralih pada Djendra yang kini fokus dengan ponselnya.

"Ini baru Bahasa Indonesia, lumayan gampang," aku menyeletuk. "Gak tau besok gimana. Mendingan kita belajar aja."

Hari-hari berikutnya tetap sama. Bangun pagi supaya tidak ketinggalan angkot dan sampai di sekolah lebih cepat. Apel pagi dan berdoa, lalu mengerjakan ujian, dan terakhir belajar bersama hingga sore untuk mempersiapkan ujian keesokan harinya. Hingga hari terakhir, aku bersyukur tidak mendapat kendala apapun saat hari-hari ujian.

Time-LagWhere stories live. Discover now