Chapter 17

34 12 1
                                    

Aku baik-baik saja pagi ini. Bangun tidur seperti biasanya, membantu Mama menjaga warung, berbelanja sayur, hingga mengerjakan satu bab buku soal. Namun mengapa ketika beberapa jam sebelum berangkat kerja (aku shift siang) jantungku mulai berdebar-debar gelisah.

Rasanya tercekat, gemetar dan ketakutan. Ada yang ditabuh dengan kencang bertempo cepat di dalam dadaku. Jauh di dalam hati kecilku, aku tidak mau datang ke sana, tetapi otakku mengirim sinyal bahwa aku harus bekerja. Kuputuskan untuk bersiap satu jam lebih cepat. Sebelum sampai ke kafe, aku akan berjalan-jalan sebentar di sekitar kafe untuk menenangkan diri.

Duduk di sebuah kursi, aku memperhatikan lalu lalang manusia yang bernasib sama denganku. Panas terik, namun harus bekerja. Para karyawan toko roti, tukang parkir, kasir supermarket, apa mereka semua pernah menghadapi ketakutan saat pertama kali bekerja sepertiku? Bagaimana mereka melaluinya?

Apa semuanya akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu?

Aku paham betul, akan selalu ada yang pertama dalam hidup. Termasuk pengalaman bekerja. Tetapi rasanya jauh lebih menakutkan ketimbang saat aku melakukan perkenalan di depan kelas saat masih sekolah dulu.

Kemudian Raja melintas di benakku. Jika aku cerita mengenai ketakutanku padanya, dia akan jawab apa, ya? Bisa jadi aku akan merasa lebih baik saat mendengar opini dari sudut pandangnya. Hanya saja, Raja agaknya sibuk karena mulai jarang ke warung. Apa aku kirim chat saja?

Kayaknya tidak usah. Takut mengganggu. Dia juga sedang mengurus masalahnya sendiri pasti.

Pukul 13:45, aku melangkah menuju kafe dengan langkah yang sengaja dilambat-lambatkan. Sampai di dalam kafe tepat pukul 2. Yang pertama kali kulihat adalah Aliya, mendadak aku ingat pesan Kala kalau aku harus membuang gengsi dan bersikap ramah terlebih dahulu.

"Siang, Kak."

Mungkin karena suaraku terlampau kecil, atau entah ada alasan lain, Aliya tidak menggubris sapaanku. Justru melewatiku begitu saja menuju ke Bar. Padahal aku sudah menyapanya dengan embel-embel 'kak'.

Yang seperti ini nih, yang membuatku kicep dan takut menyapa orang lain.

"Siang Sahara." Aku nyaris terlonjak. Mbak Karin menepuk bahuku. "Ayo cepat siap-siap, lagi rame nih."

***

Shit.

Aku mengumpat tanpa suara.

Karena panik disebabkan banyaknya pesanan yang terus-menerus muncul, aku tidak sengaja menjatuhkan tutup ice crusher. Bunyi riuhnya membuat semua orang yang bekerja di Bar dan kitchen menoleh ke arahku. Sumpah, malu banget.

Gerakanku terhenti beberapa detik hingga Aliya muncul dan membenarkan mesinnya. "Santai aja, aduh lo masih panik ya? Harusnya jangan di Bar dulu."

Serba salah. Tadi saat aku di server, disuruh ke kasir supaya bisa belajar lebih cepat. Saat aku pindah ke kasir, malah disuruh ke Bar karena katanya aku harus terbiasa membuat minuman. Karena aku masih clueless, aku merasa tidak ada yang menerima kehadiranku di manapun.

"Ayo lanjut lagi."

Mataku memanas, sementara tanganku bergetar. Astaga, kenapa aku sensitif sekali, sih?

"Sini, gue aja biar cepet." Aliya mengambil alih gelas shaker di tanganku dengan gerakan kasar. "Lo perpare tray-nya aja. Kasih ke server."

Memangnya, aku se-tidak berguna itu, ya?

"Jangan lupa di-seal dulu bowl-nya kalau buat Gojek atau Grab."

Time-LagWhere stories live. Discover now