52. sisi buruk pak Linggar

Mulai dari awal
                                    

tapi sejauh ini, apa ya yang buat dia akhirnya mau sama aku?

sibuk dengan pikiranku sendiri. aku bingung mau ngapain lagi selagi nunggu pak Linggar bangun. akhirnya aku memutuskan membaca pdf jurnal di hp. hei, bukan sok rajin. tapi emang aku dituntut rajin. sadar dirilah, bentar lagi aku naik semester. belum lagi akhir-akhir ini fokus belajarku kepecah karena masalah yang bertubi-tubi.

iya tau, salah satu masalah itu karena ulahku sendiri. gausah diinget-inget gitu napa. ish.

oke mari kita move on.

ga berasa waktu berjalan dengan cepat, saking larut dalam bacaanku sendiri. ketika nengok ke jam, lima menit lagi menunjuk angka 2. aku pun mematikan ponsel dan beralih pada sosok berbadan besar yang tengah tertidur pulas.

"Pak, bangun. udah mau jam dua," bisikku halus tepat di depan telinganya.

Pak Linggar menggeliat. Pelan-pelan dia membalikkan badannya dan membuka kedua matanya.

"10 menit lagi By." Ehh dia malah balik ngadep perutku lagi.

"Gabisa!" Aku mendorong lengannya agar ga bisa tidur lagi. "Ayo bangun ih, kasian pasien bapak atuh. Buruan bangun ga?!"

"Lagi engga ada pasien kok."

"Yaudah tetep aja harus bangun. Ga bagus tidur di jam kerja gini. Kan bapak pimpinanya. Bapak itu panutan di sini."

"Kamu mah..."

Akhirnya pak Linggar bangun. Dia merengut kesal. Aku menyunggingkan senyum geli. Utututut. Ada jelmaan bayi besar di sini.

"Aku mau pulang. Nanti bapak jemput aku di rumah, terus kita ke rumah Arumi bareng ya?"

"Engga. Tunggu di sini aja. Jam 4 pulang kerja."

Aku menggembungkan pipi sedikit bete. Bete karena bosan. Mau ngapain coba di sini sampe 2 jam kedepan.

"Bapak kerja. Terus aku ngapain? Kan gabut. Mending pulang, mau cari kadonya sekalian."

"Kalo gitu ayo cari kado sekarang."

"Ehhhh?? Kok gitu sih!" Astagaa. Dia ini kenapa, kok kaya males kerja gitu.

"Biar ke rumah Aruminya ga ke sorean."

"Halah alesan. Bilang aja males kerja."

"Itu tau."

"Ya Tuhan bapakkk!"

Pak Linggar menyengir. Tanpa aku duga, dia nyium pipi kiriku.

Cup.

"Ada kamu sih. Jadi saya maunya sama kamu terus."

"YAUDAH MAKANYA AKU PULANG AJA!!"

***

Emang ga patut ditiru kelakuan direktur yang satu ini. Liatlah, jam pulang masih dua jam lagi tapi sekarang dia sedang di jalan bukan untuk meeting melainkan menuju pusat perbelanjaan kota.

"Bapak ga selalu kaya gini kan?" Alis pak Linggar naik sebelah. "Males kerja," lanjutku menjelaskan.

Dia menggeleng. "Engga. Kan tadi dibilang karna ada kamu By."

Cengiran itu, aku jadi gabisa ngomel. Huft. Ada-ada aja kelakuan om-om ini.

"Kalo ketauan gimana? Bapak bisa ditegur dong."

"Pemilik rumah sakit itu papah. Mana mungkin bisa papah marah ke saya."

"Kok gitu?"

"Kan saya udah ngancem. Saya bebas ngelakuin apa aja, kalo dilarang, saya akan pergi dan ga nerusin perusahaan."

What?!

"Bapak serius gitu?"

"Iya dong. Masa bohong By."

Ya Tuhann. Kenapa baru hari ini sikap buruk pak Linggar kebongkar sih?? Selama ini kemana aja kamu wahai sisi buruk.... Hiks.

"Papah maksa saya terus, buat pegang perusahaan. Padahal saya ga mau. Saya maunya jadi dokter bedah aja."

"Emang ga saudara yang lain? Kakaknya bapak misal," tanyaku kini mulai antusias mendengar kelanjutan cerita pak Linggar.

Kan belum pernah dia cerita apapun. Kayanya aku ga tau apa-apa soal hidupnya. Huh. Padahal katanya kita mau nikah.

"Saya anak tunggal, By. Mau ga mau harus nerusin usaha papah." Wajah pak Linggar nampak lesu. Apa sesulit itu untuk melanjutkan tanggung jawab dari papahnya? Ah pasti sulit. Aku agaknya bisa ngerasain. Di mana kita inginnya A, tapi orang tua inginnya di B. Dan dengan tekanan tak kasat mata itu akhirnya secara terpaksa kita sebagai anak menurut.

Aku beringsut memeluk lengannya. Aku cium-ciumin itu lengan bisepnya. Wangii. Dalam hati aku berkata, yang kuat ya Sayang. Aku ga bisa bantu apa-apa selain ada di sisi kamu.

Pak Linggar terkekeh.

"Daripada nyiumin lengan, mending pipi, By.

"Maunyaa!"

Dia tergelak.

"Kamu mau tau apalagi soal kehidupan saya? Mumpung saya lagi mood ingin bercerita sama kamu."

"Ish. Berarti kalo ga mood, ga bakal cerita-cerita ke aku gitu??"

Dia lagi-lagi tertawa.

"Kadang saya ngerasa semua yang udah berlalu, ga penting untuk dibahas. Mungkin dulu ingin, tapi karena ga ada yang mendengarkan, saya terbiasa menyimpannya sendiri."

Tatapan mata itu... Kenapa berubah? Ga ada lagi kilatan jail atau rasa cinta yang tulus. Yang ada cuma kesedihan. Emang kehidupan gimana yang udah pak Linggar lalui?

"Jadi sekarang aku boleh tau dunia bapak?"

Dia menoleh. Kebetulan sedang lampu merah. Pak Linggar tersenyum ke arahku, lalu tangannya menangkup sebelah pipiku.

"Boleh." Begitu jawabnya sambil mengusap pipiku lembut dengan ibu jarinya.

Mobil kembali berjalan. Selama dia sibuk menyetir, aku terus mengamati pahatan sempurna karya Tuhan itu.


Pak LinggarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang