III. Jejak Dalam Lima Hitungan [4/4]

Start bij het begin
                                    

Dirasa telah berpuas diri ia menyaksikan semuanya, lantas sayapnya mengepak keras menyibak angin guna menciptakan arus kencang. Tampak enggan ia menunggu lebih lama, lekas ia melesat bagai kilat menyambar mangsa pertama.

Dia membawa sesosok bocah melayang. Ronta tidaklah ia hirau, permohonan pula ia abai. Taringnya lekas ia tancapkan ke leher si bocah, membiarkan tetes demi tetes darah mengucur hingga dada.

Apollya mengisap habis darahnya; melahap utuh jiwanya. Lantas ia campakkan begitu saja jasad kering kerontang, persis di hadapan sang ibunda yang telanjur berlutut lemas menyambut anaknya dengan tatapan kosong.

Seolah tak mengenal ampun, ia pijak pula tengkuk wanita yang malang itu hingga wajahnya mendekam di lumpur. Tidak tanggung-tanggung, satu entakan dari kaki Apollya lantas memecah leher hingga utuh kepala dan tubuh ibu beranak satu itu terpisah.

Pasang-pasang mata yang menyaksikan kian pasrah, beragam reaksi mereka utarakan terang-terangan. Selagi jeritan menggaung di udara, raung menyusul bersama mual yang disambung muntahan yang keluar tanpa segan.

Baik Fu Xun maupun Jian An, keduanya pula menyaksikan dengan wajah memucat. Puas sekali Shiina mendapati air muka penuh sesal menghinggapi wajah si pria paruh baya sekarang.

"Sia-sia keputusanmu menolak pil pahit berbalut gula yang hendak kuberikan, tidakkah kau berpikir demikian?" Demikian ia kembali berceletuk tepat cairan bening jatuh dari bulu mata Jian An.

Utuh Shiina tinggalkan si Kepala Desa tenggelam dalam keputusasaan. Pun, ia sempatkan mengayun tendangan ke pipinya pula sebelum berlanjut menontoni Apollya.

Bukanlah hal yang biasa baginya selama ia memerhatikan perburuan, tampaknya si Permata Kegelapan puas lebih cepat usai melahap tiga jiwa anak-anak. Manalah Shiina paham soal selera iblis, tetapi kali ini ia yakin sekali bahwa kegiatannya akan segera usai.

Mata merah itu bergerak liar bersama tawa yang terpendam di dalam seringai lebar. Bersama kepala terteleng, ia menoleh ke belakang. Persis Fu Xun terkunci dalam pandangannya, sukses membuat si pemuda bergidik.

"Lihatlah." Suara Shiina kembali terdengar tepat Jian An berusaha bangkit. "Tidak seorang pun tahu, putramu akan menjadi makanan penutupnya atau menjadi sosok pertama yang menerima Berkah Kegelapan."

Sosok ayah mana pula yang tidak mencelos jantungnya kala mendengar petaka itu diumumkan. Tampak punggung putranya berusaha meneguhkan diri; berupaya menelan ketakutan dengan setitik keberanian.

Tidaklah ia ingin menunggu Fu Xun mengangkat pedang dengan sepasang lengannya yang kurus, cepat-cepat Jian An bangkit, abai terhadap setiap rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Dia berlari, hendak menghampiri si pemuda yang mulai mengacung pedang, tetapi alih-alih mampu bergerak lebih jauh, ia malah tersengat kekuatan elemen yang menghalangi.

Tabir pelindung diperluas untuk menghalanginya dari Fu Xun.

Kian sesak dadanya, sementara kepala serasa ingin pecah. Genangan air mata menciptakan kilauan menyakitkan di sepasang netranya. Tiada guna ia bergerak melawan tabir pelindung elemen yang kuat, lantas meraung sembari bersimpuh penuh putus asa.

Dalam isak yang makin menjadi, ia menjeritkan permohonan yang sungguh memuaskan hati Shiina.

"Apa pun ... APA PUN, JANGAN ANAKKU!"

Namun, apalah pedulinya?

Pun, Apollya sama sekali abai terhadap ratapan itu.

Lekas si anak iblis berbalik bersama sepasang sayap gelap yang mengembang, maka dengan hati-hati pula Fu Xun memasang ancang-ancang. Apalah daya penglihatannya yang kalah gesit dibanding kecepatan Apollya, tahu-tahu telah mendapati sosoknya muncul persis di hadapannya.

SeeressWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu