31.Mengalir darah malaikat

Mulai dari awal
                                    

Geisha berdesis samar. Tidak lama dari itu Xabiru berhenti bersuara, terlelap dalam mimpi.

Jam dinding terus berdetak memasuki tengah malam, perlahan Xabiru membuka mata. Wajahnya pucat pasi, sekujur tubuh bergetar hebat. "Gess ... Geisha..."

Geisha yang baru satu jam terlelap bergegas bangun, mendekat pada Xabiru. Melacak tali yang ada di nakas. "Ya biru?" tanya Geisha lembut, membantu Xabiru duduk bersandar di kepala ranjang.

"Dingin gess," ucap Xabiru serak. Geisha mengangguk-ngangguk sambil menalikan kuat-kuat lengan Xabiru.

Di detik berikutnya wajah Xabiru mengeras, urat-urat sisi wajah, leher dan tangan mencuat sangat jelas dengan gigi geraham yang bergemulutuk. Telapak tangannya berkeringat dingin.

Geisha ikut bersandar sambil melanjutkan membaca buku komik. "Geisha?"

"Ya, biru?" Melirik pada Xabiru yang mengenaskan.

"Maaf ya gue susahin?"

"Biru lo udah bilang itu lebih dari 30 kali, gue harus jawab apa sekarang?"

"Bilang ke gue kalau cape."

Kepala Geisha menggeleng-geleng kukuh. "Lo yang harus bilang itu ke gue ru," kata Geisha dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak bisa harus bepura-pura tegar setiap saat.

"Gess?" manik mata Geisha menatap lekat mata sayu Xabiru, mengisyaratkan tanya. "Mau ketemu mommy, disini dingin gess. Mau pulang ... cape...."

Pecah seketika, pipi Geisha basah oleh bulir air mata. Mengusap-usap dengan lembut surai Xabiru. "Biru ... mommy lo jauh gue nggak bisa anter kesana."

"Dingin gess, mau sekali aja di peluk mommy."

Merindukan seseorang yang sudah berbeda dimensi dengan kita adalah it's another level of pain.

******

Mata kepala Rai tidak salah, laki-laki yang tengah berdiri menggendong anak kecil usia tiga tahunan itu jelas Xabiru. Secepat kilat Rai menutup wajah menggunkan novel yang tengah ia baca, sedikit mengintip karna penasaran. "Sejak kapan biru naik metromini kesekolah? dia bukannya punya motor," guman Rai.

"Semoga anak Ibu ganteng sama baiknya mirip kaya kamu," kata si Ibu yang anaknya Xabiru gendong, mengusap perut dengan senyuman hangat.

Xabiru merespon dengan tawa kecil, mengangguk. "Kemarin lho ada anak laki-laki juga seusia mu nggak mau ngalah sama Ibu hamil ini, malah pura-pura nggak liat biar bisa duduk. Wuah wong edan tenan," lanjut si Ibu dengan logat Jawa di akhir kalimat.

"Itu mungkin aja dia juga hamil Bu, hamil ghaib, nggak keliatan, ada Bu hamil di luar nalar," balas Xabiru bergurau. Ibu tertawa sambil mengusap-ngusap perutnya.

Ibu tersebut berharap memiliki anak seperti Xabiru, padahal tampilan si biang kerok itu urakan. Disini kesimpulannya 'kebaikan kecil' berhasil mengalahkan bad cover.

Masih belasan kilometer lagi untuk sampai di halte bus sekolah anehnya Xabiru minta turun, tentu jadi tanda tanya besar untuk Rai, ia memilih untuk ikut turun, menguntit di balik semak-semak.

Netra hijau Xabiru berkilau saat di terpa mentari pagi, terus melangkah di trotoar hingga terhenti di sepeda penjual balon angin, beragam bentuk animasi kartun ada. Alis Rai bertaut, semakin penuh tanya.

Kalau keadaannya Rai tidak dalam masa menguntit pasti ia tertawa, bagaimana tidak si anak kesayangan Pak Wendi itu memilih dua balon kartun Marsha end the bear dan satu lagi Hello Kitty, warna pink muda.

XABIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang