22• Ibarat Kaca ☪︎

Start from the beginning
                                    

"Hapus air mata lo! Gue gak suka cewek cengeng kayak lo," lontar Gibran sambil menunjuk muka Naura.

"Untuk saat ini, gak usah panggil gue dengan sebutan 'pacar' di depan Citra, Gak usah bawain gue makanan dan pura-pura gak kenal sama gue," tambah Gibran.

"Dan satu lagi. Jadi pacar gue itu harus terima konsekuensi yang di dapat. Termasuk ini. Kenapa? Gak terima?" lanjutnya tak memberi kesempatan Naura untuk berbicara.

"Ya nggak bisa gitu dong! Kak Gib bosen sama aku? Terus Kak Gibran sama si Citra itu punya hubungan apa sih?" tanya Naura bertubi-tubi.

"Ck! Nanti juga lo bakalan tau. Dan inget, itu perintah, bukan tanggapan." Setelah mengucapkan itu pada Naura, Gibran melenggang pergi meninggalkan Naura yang tengah memegangi dadanya yang bertambah sesak. Oksigen di sekitarnya seolah tersedot habis oleh kata-kata Gibran tadi.

Hingga tak lama, Galeen datang dengan botol minum di tangannya. Dengan sigap, Galeen membuka tutup botol itu dan menyodorkannya ke Naura.

"M-makasih kak." Naura menerima botol minum dan menegaknya hingga tersisa setengah.

"Lo nggak pa-pa? Gibran ngomong apa sama lo? Dada lo sesek? Asma lo kambuh? Bentar-bentar, gue ambilin inhaler," cerocos Galeen panik dan hendak pergi untuk mengambil inhaler. Namun dengan cepat tangan Naura menahannya hingga pergerakan Galeen terhenti.

"Gue gak pa-pa kali kak. Khawatir banget dah, lagian Naura udah biasa kok diginiin. Cuman yaa hati Naura kayaknya belum kebal deh," kata Naura diiringi kekehannya.

"Iya Naura! Gue khawatir sama lo, gue takut lo kenapa-napa dan ... Gibran itu udah keterlaluan tau nggak!? Kenapa gak lo putusin aja sih? Lagian cowok yang lebih baik dari Gibran itu banyak. Yang ngantri jadi pacar lo juga banyak kali," sahut Gibran panjang lebar.

"Emang siapa yang mau jadi pacar Naura? Kak Rayn sendiri?" tebak Naura dengan senyum jahilnya.

Mendengar itu, Galeen memalingkan wajah gugupnya dan berdehem guna menetralisir debaran jantung yang semakin menggila.

Melihat wajah Galeen yang memerah, sontak tawa Naura pecah seketika. Sungguh lucu sekali jika laki-laki ini menahan malu. "Ahahahha oke oke. Gue bercanda kali ah! Gak usah di ambil hati. Udah ah, makasih minumnya. Gue mau ke kelas dulu, byee Kak Rayn!"

Sepeninggalan Naura, Galeen menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas sambil bertopang pohon di belakangnya. Tangan satunya menyentuh dadanya yang berdebar akibat pertanyaan dari Naura.

"Tenang Galeen ... tenang .... aakhh! Diem lo!" bentak Gibran sambil memukul-mukul dadanya yang semakin berdebar.

***

ılı.lıllıl 1:14 ━━●──── 3:54
⇄ ◁ II ▷ ↺

ᴘᴜᴘᴜꜱ─ʜᴀɴɪɴ ᴅʜɪʏᴀ

Di sini lah Naura berada. Berjalan membawa nampan penuh makanan lezat dengan apron di dadanya.

Ia tersenyum hangat pada pelanggan yang sepertinya satu keluarga. Gadis kecil yang kurang lebih berumur tujuh tahun yang duduk diantara kedua orang tuanya nampak tertawa bahagia ketika pesanannya sudah datang.

"Yeaayy! Akhirnya dataang! Ica udah lapeer bangeet. Makasih kakak cantik," ucap bocah itu gembira. Sontak, Naura ikut tersenang melihatnya ketika keluarga kecil itu tampak harmonis.

"Terimakasih kembali. Selamat makan dan selamat menikmati," jawab Naura mengulas senyum dan berbalik meninggalkan meja itu.

Naura diizinkan bekerja oleh Ayahnya, asalkan tidak lupa untuk membersihkan rumah dan mengasuh Angel kapan saja. Cafe tempat ia bekerja sudah dibuka kembali, yang pasti dengan pelayanan yang lebih ramah dan fasilitas lebih lengkap lagi. Sehingga, pengunjung yang datang akan terasa nyaman dan betah.

About NauraWhere stories live. Discover now