10. Anda Menginginkan Permainan?

Mulai dari awal
                                    

***

Suster Almira menghela napas ringan, tersenyum samar mengamati wajah Lentera yang tidak pernah terlihat jelek di matanya. Ia adalah gadis cantik dan periang. Sebelum sesuatu mengusik hidupnya, menghancurkan masa depan yang sudah ditata sedemikian rupa.

"Lentera mainan pisau ya?" tanyanya.

"Enggak." jawabnya dibarengi gelengan pelan. Kedua netranya menatap kosong.

"Ini kenapa?" Suster Almira menyentuh luka pada pelipis, pipi dan dagu. Luka tersebut masih basah, goresannya menampilkan daging dan darah yang mengering.

"Monsternya ganggu." ucapnya lirih.

"Jadi ini ulah monster?" Lentera reflek mengangguk.

"Lentera dapat pisau dari siapa?" tanya Suster Almira. Semenjak insiden Lentera berniat bunuh diri, saat itu Lentera sudah menyimpan pisau bahkan sampai sekarang tak jarang wajah atau tangannya luka. Entah ulahnya sendiri atau orang lain yang memiliki sakit jiwa serupa dengan Lentera.

"Ha?" sahutnya menoleh menatap dengan sorotan bingung. "Pisau apa?" tanyanya.

"Kamu dapat pisau dari mana dan dari siapa?" ulangnya.

"Senjana." jawabnya.

"Sepertinya saya harus memberi teguran sama Senjana. Sekarang dia tidak sopan, beri tahu kapan saya bisa bertemu Senjana? Saya harus bicara." ucap Suster Almira beraut marah.

"Kamu kan bisa ketemu dia kapan aja, bisa telpon dia, atau datangi aja rumahnya." ujar Lentera.

"Saya memang cukup kenal dengan sahabatmu itu, tapi saya tidak bisa bicara private sama Senjana. Apalagi sekarang dia sudah jarang ke sini, bahkan ketika dia berkunjung, saya tidak pernah bertemu." jelasnya.

"Sayang sekali." cibir Lentera menyunggingkan senyumnya. Ia tampak malas membahas Senjana.

"Ayo sarapan." Suster Almira menyuapi Lentera.

Gadis itu menatap sendok di hadapannya. Tatapannya datar namun sarat akan tanda tanya. "Sarapan atau enggak, sama-sama nggak berpengaruh buat aku kan? Dari dulu aku di sini, kapan aku pulang?" tanyanya.

"Hei, sebentar lagi kamu pulang, Lentera harus nurut sama Dokter dan Suster. Sarapan, minum obat, minum vitamin dan mengikuti terapi pikiran." ujar Suster Almira.

"Aku bosan, aku malas bertemu Dokter-dokter di sini." ungkapnya.

"Dokter siapa yang buat kamu malas bertemu?" tanya Suster Almira.

"Dokter yang mukanya seperti monster." jawabnya datar. "Terus Dokter yang sering senyum dan baik kepadaku." imbuhnya.

"Kenapa begitu?" sahutnya.

"Dua-duanya bikin aku sakit kepala. Ah iya aku juga nggak suka sama Suster yang gantiin kamu kalau malam. Dia selalu lupa hidupin lampu kamarku, dia juga nggak tunggu aku sampai tertidur, tiba-tiba pergi. Padahal kan kalau malam ada monster." ucapnya dengan raut sedih.

"Maafkan saya ya, Lentera." Suster Almira memeluk gadis itu. Ia merasa bersalah lantaran Lentera merasa tidak nyaman dengan Suster lain selain dirinya. Karena itu, terkadang Suster Almira memberi tahu apa saja yang tidak disukai gadis itu agar tetap terasa sama perhatiannya. Namun tetap saja. Lentera tidak bisa menemukan kenyamanan.

My Perfect PsikiaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang