23

15.9K 1.6K 221
                                    

"Tidak, Oppa. Aku tidak bisa," Haechan menarik tangannya di genggaman Mark.

Kepalanya yang menunduk sehingga air mata Haechan mengalir tanpa sadar. Bukan air mata kesedihan yang biasa ia keluarkan, namun air mata kebahagiaan akhirnya apa yang menjadi salah satu mimpinya terkabulkan oleh Tuhan.

Hanya saja, Haechan merasa tidak pantas bersanding dengan Mark. Ia bukanlah wanita dengan asal usul yang jelas. Ia hanya seorang wanita yang besar di panti asuhan kecil. Andaikata posisinya benar-benar di kasta terendah sementara Mark jauh berada di kasta tertinggi. Ia sangat sadar diri.

"Hei, hei," Mark kembali meraih tangan mungil itu.

"Kau yakin menolakku, Haechan-ah?" tanya Mark memastikan dengan nada yang masih terdengar lembut. Sebagian dirinya tengah berusaha untuk tidak meluapkan emosinya. Bagaimanapun juga Mark masih orang yang sama. Orang yang sangat mudah tersulut amarahnya. Ia tidak suka penolakan. Apalagi penolakan ini dari seseorang yang dicintainya.

"Aku tak tahu," tangis Haechan semakin deras. Ia sangat ingin menikah dan membangun rumah tangga bersama Mark. Tapi disisi lain ia menolaknya. Terlebih ia juga belum bertemu dengan orang tua Mark. Apa yang akan mereka katakan ketika mendapatkan seorang menantu yang sangat tidak pantas untuk anaknya?

Sebenarnya itu hanyalah ketakutan-ketakutan dari Haechan. Wanita itu melupakan bahwa dirinya ada di lingkaran wilayah keluarga Jung. Yang mana keluarga Jung otomatis mengetahui seluk beluk siapa saja yang masuk ke dalam wilayah mereka.

"Dengarkan aku, Haechan-ah. Aku memang bukan pria romantis dengan banyak untaian kata-kata manis. Tapi percayalah, aku melakukan ini semua karena aku memang mencintaimu. Hanya kau yang diharuskan menemani separuh hidupku. Hanya kau yang aku izinkan mengandung keturunanku, Haechan. Aku tidak ingin wanita lain. Cukup dirimu. Tapi, aku tidak akan memaksa. Aku sadar aku terlalu banyak memaksa semenjak perjanjian itu."

Dua kalimat terakhir yang diucapkan oleh Mark hanyalah bualan pria itu. Mana mungkin Mark akan melepaskan Haechan. Jika wanita itu tidak mau, dengan senang hati Mark akan tetap mengikat wanita itu. Ya seperti inilah, Mark memang kejam.

Mereka saling terdiam namun tetap dengan posisinya. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Haechan. Wanita itu terus menangis. Mungkin Mark harus mempertegas wanitanya sekarang.

Perlahan Mark menutup kotak cincin dan menjauhkan tangan besarnya yang melingkupi tangan mungil Haechan. Ia bangkit, "Aku tahu. Mungkin kau memang benar-benar menolakku."

"Biarlah Tuhan tertawa menyaksikan ini semua." Mark memalingkan wajahnya melihat potret itu.

"Maafkan aku selama ini terlalu banyak memaksa dan menuntut. Hati kecilmu sedari dulu menginginkan kebebasan bukan? Maka sekarang kau bebas." ucap Mark dengan nada datarnya. Nafas Haechan tercekat. Ia menggeleng ribut, ia tidak menginginkan seperti ini.

"Aku akan memberimu fasilitas supaya kau hidup nyaman. Dan aku juga yang akan menunjang seluruh pendidikan mu sampai strata dua."

Mark berjalan pergi meninggalkan Haechan. Ia hendak meraih kenop pintu tiba-tiba saja seseorang memeluknya dari belakang. Sudah dipastikan pelakunya adalah Haechan sendiri.

"Kau pria brengsek!"

"Kau pria kejam!"

"Kau pria jahat!"

Mark hanya perlu diam mendengarkan semua hinaan Haechan. Ia tersenyum miring. Rencananya berhasil. Memang wanitanya ini harus dipertegas supaya tidak berpikir macam-macam.

"Bagaimana bisa kau malah melepaskanku saat kau sudah mengambil semua yang ada pada diriku, Oppa?! Kau bahkan sebelumnya sudah berjanji kalau tidak akan meninggalkan atau membuangku! Kau benar-benar brengsek." ujar Haechan dengan tangisnya.

Vad [END]Where stories live. Discover now