9. She's Look Pretty

Mulai dari awal
                                    

"Kayak sama siapa aja lo, kita jauh-jauh ke sini buat ketemu lo, Al. Jadi kita bakalan nunggu. Buruan mandi, lesu banget wajahnya."

"Nak Hanny, kalau capek, tidurin anak kamu di kamar tamu ya. Saya rasa tangan kamu pegal menahannya." ucap Mama Alwi.

"Nggak apa-apa, Tante." sahut Hanny.

"Begitu ya, saya tinggal dulu ya. Sebentar lagi suami saya datang. Iya kan, Al? Papamu udah jalan pulang kan?"

"Iya, Ma." jawabnya datar. Alwi menatap kedua tamunya. "Gue mandi bentar ya. Sepuluh menit." reflek keduanya mengangguk.

Tapi, ketahuilah. Alwi tidak benar-benar membersihkan diri. Yang dilakukan laki-laki itu hanyalah berdiam diri di kamar mandi. Menatap pantulan dirinya pada cermin. Ia baru saja ditampar kenyataan sekeras-kerasnya. Sampai rasa sakit itu begitu ia rasakan pada sekujur tubuhnya.

Kedatangan Hanny—perempuan di masa lalu yang masih menempati hatinya itu, tiba-tiba datang bersama suaminya. Beserta anak kecil yang bagi Alwi sangat lucu dan tampan. Kenyataan itu pahit. Alwi tidak sanggup menelannya.

"Kamu udah benar-benar bahagia, Han? Aku turut senang melihatmu seperti itu." senyum palsunya terlukis. Tampak muak dan Alwi juga membenci senyumnya.

"Masih sama, cantik, aku berdosa memujimu seperti ini. Tapi aku nggak bisa menyangkalnya. Aku sangat merindukanmu, Han." ungkapnya dalam hati.

"Abang! Udah lebih dari sepuluh menit!" Alwi di kagetkan oleh pekikan Antari. Buru-buru membasuh wajah. Lalu mengganti pakaiannya.

***

Mereka duduk di teras. Menikmati suasana malam yang terang akan cahaya bintang.

"Jadi lo udah dinas di Rumah Sakit Jiwa?" tanya Yoga.

"Iya. Belum genap satu bulan sih, itu juga permintaan bokap. Tadinya gue mau magang di Prancis." ucap Alwi.

"Kejauhan, Al." sahut Hanny. Ia berdiri menimang anaknya yang sesekali menangis karena merasa tidak nyaman dengan posisi tidurnya.

"Iya, lo kan udah harus berumahtangga. Kita semua nunggu lo nyusul. Kita pengin lo ikut kumpul terus bawa anak masing-masing. Lo nggak kangen sama Predator?" tanya Yoga.

Alwi termenung. Ia menekuri sandalnya. Perkataan Yoga barusan membuat dadanya nyeri. Memangnya Alwi tidak ingin menikah dan memiliki anak seperti teman-teman seperjuangan di masa remajanya itu? Tentu saja Alwi ingin. Tapi hatinya mati rasa. Ia seperti belum ikhlas dengan takdirnya. Perempuan yang ia sayangi sepenuh hati sudah menjadi milik Yoga dan perempuan itu kini tengah menatapnya dengan sendu.

"Nggak usah buru-buru kalau emang lo belun siap, Al. Yoga bercanda kok, toh kita semua juga jarang kumpul. Terakhir kali kapan ya, lupa." ujar Hanny mencairkan suasana.

"Sori, bro. Gue bercanda. Kita di undang ya kalo lo udah siap nikah." timpal Yoga.

"Pasti." Alwi tersenyum getir.

"Mau coba gendong Pandu nggak?" tawar Hanny.

"Biar lo nggak kaget pas nanti punya anak. Oh iya gue berterimakasih sama lo, Hanny udah cerita waktu itu telpon dan curhat masalah Pandu yang lagi sakit, terus gue lagi kerja di luar kota. Thanks, setidaknya Hanny bisa tenang karena saran-saran dari lo." Yoga menepuk pundak Alwi. Tatapannya tulus.

My Perfect PsikiaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang