00

121 17 1
                                    

00 - PROLOGUE

---

"Permainan kecil."

Kopi dan ruangan.

Keduanya bukan hal yang boleh dikatakan berhubungan. Walau begitu, ia akan menyambungkan kedua dari sudut pandangnya.

Kopi adalah minuman pahit yang dihidangkan di atas meja yang terdapat di sebuah ruangan.

Dan ruangan itu sendiri, dari sudut pandang matanya mengatakan itu ruangan yang berkelas. Hanya, AC ruangan itu agak lebih dingin dari pada biasanya.

Apa karena orang di depannya ini mengatakan soal, "Permainan Kecil"?

Jujur saja, dia tidak paham dengan seseorang yang berpikir suatu aksi berbahaya itu adalah "Permainan Kecil".

Kadang ia pula bertanya-tanya, apa sesungguhnya orang di depan dia sudah kehilangan akal sehat? Ia menunduk sedikit, menghela napas samar-samar.

"Katakan kepadaku," dia berucap. "Apa kau menolak permainan kecil itu bila situasinya memungkinkan dirimu untuk kabur?"

Dia yang memandang tersenyum tipis, "Jika aku berkata "iya", apa kau akan melakukan sesuatu?"

"Tidak juga," dia menaruh kopi yang telah ia minum. "Tapi kau tahu akibatnya 'kan?"

Tentu saja-ia terkekeh kecil. Lucu saja, ia menutup mulutnya yang tadi tertawa.

"Aku tidak akan mundur kalau aku tidak tahu akibatnya," jawabnya. Ia percaya diri.

Mundur, dia memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya. Ia tak memiliki alasan lain selain;

"Toh, semua itu sudah berlalu."

Yang mendengar ucapanya itu pun tertawa. Dia meletakan gelas kopi itu di meja, menatapnya dengan penuh ketulusan.

"Voice," dia berucap. "Aku percaya kepadamu."

Voice, ia memasang senyum cerah, "Ya, terimakasih banyak, Four."

Senyum cerah cukup manis untuk kopi pahit yang "Four" minum. Dia meletakan kembali gelasnya, tidak sadar juga sudah habis-ia berdiri untuk mengisi lagi gelasnya.

Tentu saja dengan kopi lagi. Tidak ada yang bisa mengganti nikmat secangkir kopi yang diminum saat stress melanda.

Hanya, entah tak beruntung atau ceroboh, kopi bubuk siap saji itu habis. Kecewa, "Four" mendecih kesal.

"Hah, sialan...".

"Hei, berkata kasar itu tidak baik lho," jawab orang itu. "Four."

Orang itu-ya, banyak sekali orang itu bukan? Kali ini dia bukan "dia", "Voice", tapi... Ya, seseorang.

"Heh, bisa saja kau," jawab "Four". "Ada apa?"

"Sebut saja alasan kenapa "Voice" mundur dari pekerjaan ini," ia melempar flashdisk ke "Four".

Untung saja tertangkap-"Four", ia lega ketika melihat benda kecil berukuran panjang 3 cm dan lebar 1 cm.

"Four" menaruh gelas kopinya yang kosong, ia terdiam sejenak, ia melihat sticker di flashdisk itu yang bertuliskan, "Data Penting".

"...Berulah lagi?" tanya "Four" mencengkram flashdisk itu.

"Kurang lebih," orang itu berkacak pinggang. "Sudah ada bentuk teror di beberapa tempat karena ulah mereka."

"Teror apa saja?"

"Ya, beberapa diantaranya adalah bawahan kita yang hilang."

"Lainnya?"

"Data kita di curi, "Four". Beberapa data itu berkaitan dengan "Voice"."

"Sial...".

"Four" mengacak-ngacak rambut.

"Apa kau pikir dia bisa bertahan?"

"Four" menatap orang itu penuh harap. Oh-orang itu memasang senyum, sayang senyumnya itu bermakna "hanya" memasang.

"Dengan pesan ini?" seseorang itu tersenyum. "Tidak, karena itu aku berikan kepadamu, Boss."

Tipikal orang itu sekali, selalu to the point, "Kalau begitu?"

"Kalau begitu?" ia mengulang kata "Four", menaikan satu alis.

"...".

"...Ah, sial."

"Hei, berkata kasar itu tidak baik lho."

"Four" dan pula orang itu tertawa lepas. Walau tak lama, hela napas dari "Four" keluar begitu saja.

"Kalau begitu aku akan bersiap juga," dia berjalan ke arah luar. "Ah, iya, di situ juga ada dokumen lama yang terselamatkan sebelum dicuri "mereka"."

"Kau serius!?" mata "Four" sedikit semangat. "Kalau begitu berarti...!"

Orang itu memasukan tangannya ke saku, "Yah, memang tidak ada jaminan sih dia tak akan terlibat."

"Toh, ini adalah kasus yang masih jadi misteri bagi kita semua. Dan tentunya, akan ada nyawa yang melayang."

"Tapi, kalau kasus 7150 hari itu bisa terpecahkan, kenapa tidak?"

7150 hari yang lalu-kasus itu, dia, "Four" tersenyum puas. Wajahnya sedikit girang.

"Jangan lupakan tugas kita adalah melindungi rakyat sipil," "Four" duduk rapih di singasananya. "Kau harus membantunya apa pun itu."

"Kau sendiri tahu tak ada jaminan warga sipil atau pun "Voice" itu aman," dia melipat tangan di dada.

"Dan pula kukatakan, asalkan kasus 7150 hari itu terpecahkan, akan ku korbankan diri ini sampai akhir," tawanya khas.

"Dan tentunya, dia pasti akan berpikiran sama 'kan, "Four"?"

"Four" hanya tersenyum tipis.

"Tentu saja, dia akan berpikiran sama untuk 7150 hari yang lalu...".

-TO BE CONTINUE-

7150 DAYS : DystopiaWhere stories live. Discover now