14 - His Call

2.1K 660 47
                                    

Aku memandang bayanganku sendiri di cermin kamar mandi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memandang bayanganku sendiri di cermin kamar mandi. Wajahku basah setelah dibasuh air berulang kali. Bagian depan rambutku yang tak terikat menempel ke kulit. Lepek, tak bernyawa.

Semalam aku masih menggigil meski sudah pakai selimut tebal. Yatara ada di sisiku, dia berkeras tak mau pergi bahkan ketika ayahnya menyuruh Yatara pulang. Aku terlelap dalam pelukannya. Hangat tubuhnya membuatku tenang, tangan Yatara mengelus dan menepuk punggungku. 

Masihkah besok kutemui dekapnya itu?

Ini pagi hari-hari kerja. Aku bersiap untuk pergi ke kantor dengan lebih lamban. Di meja kecil kerjaku, ada bubur instan yang Yatara buatkan untukku. Dia sudah pergi, berbekal sebutir apel dan seteguk air putih yang buru-buru.

Sambil memasukkan suapan pertama bubur instan, aku memutar musik sembarangan dari aplikasi biar tidak terlalu sepi. Kegiatan pagiku tidak ada yang istimewa bila Yatara sudah pergi bekerja.

Aku mesti berdiri di kereta dalam kota karena pertarungan buat dapat tempat duduk itu sengit sekali. Sekelebat pemandangan kota dan apa-apa yang terjadi di luar jadi fokus penglihatanku. Cepat, tidak ragu ditinggalkan.

Aku dan Yatara mungkin tinggal menunggu waktu untuk saling meninggalkan.

Sanggupkah kami?

Tidak. Tidak sama sekali.

Di kantor, aku segera menghampiri kubikelku dan membalas sapaan teman satu divisi tanpa semangat. Mukaku lebih pucat dari biasanya, tetapi hidungku memerah. Mereka langsung bisa menebak kalau aku tidak begitu sehat.

Rekan-rekan kerjaku, terutama si anak magang cukup tahu diri untuk tidak menggangguku. Dalam keadaan sehat dan senang saja aku siap mendamprat mereka di hitungan ketiga, apalagi dalam mood tidak keruan begini. Ini hari terakhir anak magang itu ke kantor. Satu hal positif buatku.

Aku membuka file edit terakhirku. Produk terbaru perusahaan adalah sebuah eksfoliator kulit, brief buat video dan estetika postingannya adalah api dan dominan warna merah. Namun, ketika berkas akhir video sampai dari jasa pembuat video yang kami sewa, dominasi warnanya malah warna biru. Tim marketing lupa kalau api bukan cuma merah warnanya. Jadi, aku mesti menyesuaikan tampilan postingan lagi.

"Eh, lo join, 'kan?" Hanin, temanku yang kurus dan selalu pakai topi baret di kantor yang bertugas bikin desain kemasan produk bertanya dari kubikel sebelah.

"Join apaan?" tanyaku balik.

"Anak magang mau traktir kita makan, katanya ucapan terima kasih sekaligus perpisahan."

"Nggak tahu, deh." Aku menjawab lemas, seraya menghapus dua kata terakhir yang kutulis di layar karena typo. "Lihat nanti."

"Oke. Kabarin ya, buat booking table."

Aku bergumam tak jelas buat menanggapi.

Di jam makan siang, aku membeli roti berisi selai stroberi biar gampang dimakan. Sementara yang lain berjubel dan mencari meja yang kosong di kantin, aku kembali ke kubikelku dan berniat melanjutkan merevisi dua postingan lagi. Sibuk membantu mengalihkan diriku dari yang tak ingin kupikirkan.

Ponselku menyala di tengah kesibukanku, pesan dari temanku yang dulu memberitahukan soal pekerjaan muncul di layar. Tawaran itu masih ada. Sempat kukirimkan portofolioku kepada mereka dan kelihatannya mereka suka.

Aku memijat pelipisku, tak tahu apa yang mesti kulakukan.

Mataku yang semula memejam terbuka kembali, ponselku berdering. Kali ini bukan karena pesan, melainkan telepon dari Yatara. Begitu kuangkat telepon, suara Yatara yang sekarang terdengar dalam dan lelah terdengar. Kata pertamanya adalah namaku.

"Kenapa, Yatara?"

"Sore ini, aku mau langsung ke apartemen kamu. Nggak apa-apa?"

"You're always welcome, Yatara."

Tidak ada kalimat baru untuk beberapa saat. Yang kudengar kemudian adalah embusan napasnya yang berat.

"Aku butuh kamu," ungkapnya letih.

Aku menatap kosong pada potret tangan kami yang saling menggenggam, potret itu ada pada polaroid yang kutempel di dinding kubikelku. Aku menelan ludah, pahit dan sulit dilakukan.

"Me too," balasku tak kalah parau.

***

To be continued.

***

Him ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang