03 - His Smile

4.9K 1K 143
                                    

Senyumanmu itu dipakai layaknya senjata, memenangkan pertarungan rasa

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Senyumanmu itu dipakai layaknya senjata, memenangkan pertarungan rasa.
Aku korbannya.

***

"Coba tebak, kereta selanjutnya yang datang tujuannya ke Bogor atau Cikarang?"

"Kalau tebakannya bener, hadiahnya apa?"

"Yang tebakannya bener bisa nentuin kostum Halloween tahun ini."

"Oke, aku pilih tujuan Bogor."

"Tebakanku Cikarang, berarti."

Kami baru saja duduk di kursi stasiun kereta kota yang mirip tempat jemuran itu ketika Yatara tiba-tiba mengajukan taruhan. Di tangan kami masing-masing ada es stik yang bisa dipotong menjadi dua, masih ada empat lagi pada kantung plastik yang dibawa Yatara. Punyaku warna ungu, sedangkan punya Yatara hijau.

Ini tahun keduaku berpacaran dengan Yatara. Tahun kemarin, meski di negeri ini Halloween bukan sesuatu yang begitu umum dirayakan, kami memutuskan untuk mengadakan malam khusus. Isinya sebenarnya cuma menonton film horor dengan layar projector di rumah Yatara, bedanya adalah pakaian yang kami kenakan. Kostum, lebih tepatnya. Biar lebih meriah.

Tahun lalu, Yatara mengenakan kostum pembalap, sedangkan aku tampak seperti dokter. Tadinya kami mau cosplay Joker dan Harley Quinn, tetapi mengingat kami perlu mengenakan make up dan segala detailnya, rencana itu tidak dilakukan.

"Kalau menang, memangnya pengin kostum apa?" tanyaku, setelah menghabiskan stik pertama dan mengambil yang baru.

"Yukata gitu kayaknya lucu." Yatara menyebutkan pakaian tradisional Jepang. "Kamu bakal pilih kostum apa?"

"Belum kepik–itu kereta yang kita tunggu udah datang duluan." Aku menunjuk kereta tujuan Jakarta Kota dengan dagu.

"Yang selanjutnya aja, masih sore ini." Yatara kini tengah menikmati es stik keduanya juga, warna oranye.

"Penyihir, gimana?" Aku menyebutkan pilihan kostumku. Sepertinya lucu melihat Yatara mengenakan topi kerucut dan membawa tongkat sihir. 

"Bisa."

Deru kereta di kejauhan membuat kami sama-sama mengalihkan pandangan, menunggu dengan harap-harap cemas. Pakai kostum apa pun sama saja, tetapi jiwa kompetitif masing-masing tidak membiarkan kami mengalah sedikit pun.

"Cikarang." Yatara tersenyum lebar. "I won."

Aku mengangkat bahu. "Kamu yang cariin kostumnya, tapi. Eh, aku mau yang merah."

Di dalam kereta, aku dan Yatara duduk bersisian. Dia hendak menggenggam tanganku, tetapi kutepis karena ini masih di depan umum. Dia memasang wajah masam. "Pegangan tangan doang."

Tentu saja buat Yatara–kami, sebenarnya–berpegangan tangan itu afeksi paling minimal dan sederhana. Kami sudah dewasa, saling menginap di tempat tinggal masing-masing pun sudah sering dilakukan. Akan tetapi, di depan umum beda lagi. Aku ngeri kalau ada yang memotret tanpa izin dan disebar begitu saja di sosial media.

"Nanti di apartemen." Aku berbisik, karena wanita sebayaku yang duduk di sebelah kelihatan seperti sedang menguping. 

Yatara menunjukkan senyum kecilnya yang punya maksud lain itu, alisnya naik turun, menggodaku.

Dia bakal minta lebih dari sekadar pegangan tangan.

Baru saja aku menutup pintu apartemen, Yatara sudah merentangkan tangan dan tersenyum lebar. "Come to me."

Aku suka cara Yatara menarik kedua sudut bibirnya naik. Ingin aku sentuh apple cheeks-nya, mengusap rambut hitam legamnya, dan kukecup bibirnya. Yatara mudah dibuat tersenyum, sebagian besar karena hal-hal kecil. Seperti aku yang tidak menolak kalau dia memelukku dari belakang sementara aku menyiapkan sarapan atau dasinya yang kurapikan sebelum dia berangkat kerja.

Aku suka dan rindu senyumannya.

***

To be continued.

***

Him ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora