12 - His Handwriting

2.3K 645 62
                                    

Restoran milik teman Yatara yang katanya populer dan susah buat dapat meja itu ada di lantai delapan belas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Restoran milik teman Yatara yang katanya populer dan susah buat dapat meja itu ada di lantai delapan belas. Di lift, kami sama-sama melihat bayangan di cermin buram dinding lift. Yatara mengenakan kaus hitam panjang dengan dalaman kaus putih tanpa lengan. Celananya jeans yang sobek-sobek di bagian lutut. Dia kelihatan santai, jadi aku tidak takut salah kostum dengan pakaian kasualku.

Awas saja jika pengunjung lain mengenakan pakaian semacam setelan resmi atau gaun. Pakaian yang benar di waktu yang salah itu salah satu ketakutanku.

Lift baru mencapai lantai tiga ketika Yatara mendorong tubuhnya ke arahku dengan arah menyamping. Dia menyenggolku dengan iseng dan tertawa sendiri. Aku mengikuti permainannya. Kami jadi seperti dua anak-anak sampai lift berhenti di lantai lima dan dua orang lain masuk ke lift. Namun, tangan Yatara meraih pinggangku, menggelitik area sana dan baru berhenti ketika kupukul lengannya.

"Nggak ada dress code, 'kan?" Aku tetap bertanya ketika kami melangkahkan kaki memasuki lantai delapan belas.

"Nggak ada." Yatara menungguku yang mengecek penampilan di kamera depan ponsel. "Kayaknya?"

"Kok kayaknya?" Aku jadi agak keki karena jawaban Yatara yakin tak yakin begitu.

"Temanku nggak bilang apa-apa. Lagian, kita mau makan, bukan mau menghadiri acara orang."

Langkah Yatara lebih percaya diri dari ucapannya, jadi aku diam-diam meneguhkan diri juga. Kami akhirnya mencapai area restoran itu. Sementara Yatara memastikan reservasinya terdaftar, aku mengedarkan pandangan dan mengembuskan napas lega karena yang datang hadir dengan pakaian tidak formal-formal amat.

Kami mendapat meja tepat di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan cahaya malam kota dan gedung-gedung tinggi lainnya. Jakarta masih sibuk. Kendaraan hilir mudik di lalu lintas yang padat. Gedung-gedung tinggi tak mau kalah, penerangannya yang terang menandakan aktivitas di dalamnya masih berlanjut. 

"Kamu masih mau lanjut kerja di company yang sekarang?" Yatara membuka percakapan kami.

"Nggak tahu, ya. Pengin pindah atau freelance untuk sementara, tapi nanggung karena baru gajian kemarin."

"Why?"

"Nggak ada kemungkinan kenaikkan jenjang sih, berasa nggak berkembang juga. Kayak potensi yang bisa aku capai ya udah mentok nggak bisa dieksplor lagi." Aku menopang dagu. "Dari temenku juga ada tawaran, tapi ya gitu."

Yatara tidak sempat bertanya karena pelayan datang dan mendata pesanan kami. Aku membiarkan Yatara yang memilihkan, soalnya aku tak tahu bentuk hidangan di sini seperti apa. Namanya campur aduk, bahasa asing yang tak kumengerti. Aku cuma bisa bahasa Inggris dan sedikit bahasa Korea hasil nonton drama mingguannya. 

"Ya gitu kenapa?" Yatara bertanya lagi.

"Tempatku sekarang kerja kan, bergerak di industri kecantikan. Mostly skincare meski mereka punya beberapa produk make up. Tawaran ini datang dari perusahaan serupa, tapi fokus di make up. Cuma ... kerjaannya ada di Bandung."

Kalau aku menerima pekerjaan itu, kami perlu menjalankan hubungan jarak jauh. Aku memang berasal dari kota itu, mungkin tinggal dengan Mama bila benar-benar kuambil tawarannya.

"Di Bandung, ya." Yatara terdengar seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Iya. Toh kamu sebentar lagi--"

"Aku nggak mau bicarain itu." Yatara segera memotong.

"Oke." Aku menunduk, sedikit sesal terasa di dadaku. Kupandangi tato kecil di bagian kanan jari tengahku. Angka dua belas, tanggal lahirku. 

"Aku pernah untuk kepikiran buat bikin tato, di sini." Yatara menunjuk lengan kirinya.

Bagus, dia mendapatkan topik lain untuk dibicarakan. Aku dan Yatara tidak perlu canggung lagi.

"Kenapa nggak bikin?"

"Papaku yang larang, katanya nggak profesional."

Rupanya itu yang Yatara bayar untuk gaji besarnya setiap bulan, kartu kredit dengan limit hampir tak hingga, fasilitas lengkap, dan segala hal yang bisa ia beli dengan uang. Kebebasannya. 

"Pakai aja tato temporer, banyak kok yang jual di online shop," saranku. "Tim perusahaan pernah pakein itu ke model buat pemotretan. Ada yang kecil-kecil kalau nggak mau kelihatan. Bentuknya kayak bunga, love, dan yang lainnya."

"Aku mau nama kamu yang ditulis di sini." Yatara menarik lengan kausnya sampai siku. "Ada pulpen, nggak?"

Meski awalnya aku pengin tertawa, kucari benda itu di tas. Seingatku belum habis tintanya. Pena itu biasa kupakai buat coret-coret di atas kertas, jika kehabisan ide karena bosan menatap layar terus.

Yatara menerima penaku, lalu mulai membentuk huruf G sebagai permulaan. Huruf pertama dari nama depanku. Dia baru selesai menulis huruf terakhir kala pelayan datang mengantarkan pesanan kami. Karena dilatih untuk menjadi seorang yang profesional, pelayan itu hanya sempat melirik tingkah Yatara, sementara kami sama-sama menahan senyum dengan menipiskan bibir. 

Sebelum kami mulai memakan makanan kami, Yatara mengangkat penaku. "Mau kubikinin juga nggak?"

Aku mengangkat bahu dan menyodorkan tangan kananku setelah menanggalkan blazer-ku. "Nih."

Yatara menuliskan namanya, terkekeh saat selesai melakukannya.

"Jangan cepet-cepet dihapus," katanya.

This guy.

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now