01 - His Name

13.8K 1.5K 178
                                    

Namanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Namanya.
Yang sering diucapkan layaknya mantra itu.
Sihir-sihir jahat dengan dalih rasa.
Namanya.

***

Kalau Yatara sekali lagi menginap di apartemenku, lebih baik dia membayar setengah biaya sewanya bulan depan.

Dia pikir pelukan semalaman bisa mengganti pundi-pundi uang yang kukeluarkan usai bekerja sampai jam makanku tak teratur?

"Where's my morning kiss?"

Aku mendekatinya setengah sadar dan bibir kami bertemu selama sepersekian detik.

Sayangnya, jawabannya adalah ya. 

Yatara mengenakan kembali kaus hitam kebangsaannya itu. Dia punya lebih dari satu lusin pakaian serupa. Aku tidak tahu apakah dia membelinya secara berbarengan begitu. Modelnya sama persis, ukurannya juga. Beberapa sudah agak pudar warnanya di satu bagian acak, beberapa lagi agak melar di bagian kerah.

Kenapa sih, tidak sering-sering pakai pakaian rapi dan fancy buat tubuhnya yang jangkung menjulang itu? Aku pernah melihatnya rapi untuk peresmian gedung apartemen baru dan dia kelihatan baik-baik saja. No, he is definitely more than fine. 

Yatara bukannya tak punya uang. Dia bisa dengan mudah membangun sepuluh pabrik untuk memproduksi kaus sewarna rambutnya yang lembut itu dan tak perlu khawatir uang makan selama beberapa tahun ke depan. Atau, tujuh keturunannya ke depan.

"Aku kan mau ketemu kamu, Babe. Bukan mau ketemu investor," katanya. 

I mean, aku mau—sering-sering—merasakan memeluk Yatara dalam balutan jas dan kemeja formal.

Dengan wajah seperti yang Yatara punya, pakaian apa pun cocok-cocok saja untuknya, sebenarnya. Yatara punya tulang pipi yang cukup tinggi, pipinya membulat seperti buah apel kalau senyum. Kalau menurut istilahku—yang selalu ditertawakan Yatara, soalnya memang agak konyol—matanya mirip mesin penyaji atau dispenser. Bisa dingin, bisa hangat. Alisnya lurus dan tebal seperti tanda strip yang setengah bangun. Hidungnya lurus dan bibirnya cukup tebal.

Aku paling suka bibirnya.

Sekarang sedang mengecup puncak kepalaku.

"Katanya kemarin kamu berantem sama anak magang ya, di kantor?" Yatara bertanya sambil menyeduh kopi paginya. Aku paling tidak bisa minum pagi di pagi hari, pagiku yang memang pendek pasti akan dihabiskan di kamar mandi.

"Nggak berantem."

"Iya, nggak berantem, tapi bikin anak magang nangis sesenggukan." Yatara berbalik dari pantry, cangkir kopi ada di genggaman tangan kirinya. Dia kidal. Matanya yang indah itu menatapku lurus-lurus.

Dia selalu begitu bila berbicara dengan orang lain. Hampir tak pernah mengalihkan pandangan. Lawan bicara dibuatnya merasa canggung, atau malu, atau kikuk.

Atau jatuh cinta seperti aku.

"Abisan siapa yang nggak kesel kalau file isi bahan desain postingan enam bulan ke depan dia hapus permanen?" Aku mulai senewen lagi. 

"Kok bisa permanen?" Yatara bertanya lagi sementara dia mendekat dan duduk di sebelahku, di sofa kecil dekat balkon apartemenku. Tubuhnya yang bongsor membuat kami jadi berdesakkan. Meski sedetik kemudian aku sudah duduk di pangkuannya.

"Nggak tahu." Aku mengangkat bahu, bergidik sesaat karena Yatara mengusap punggungku. "Padahal itu folder ada dari tahun jebot, nggak pernah ada masalah. Katanya salah klik. Yang salah tuh dia yang kepilih magang di kantor aku, kali."

"Hush." Yatara setengah tertawa kala memintaku tutup mulut.

"Modal orang dalam juga. Sebel."

"Masih pagi, Babe. Calm down." Yatara menyesap kopinya sebelum kembali berbicara, "Aku takjub kamu belum dipecat juga, setelah jadi mimpi buruk buat anak magang sejak lama dan pernah bentak-bentak manajer produksi depan banyak orang."

Sesi bentak-membentak itu lain lagi. Manajer itu agak takut-takut sekarang padaku, padahal aku cuma ilustrator yang sudah beberapa tahun bekerja dan curi-curi kerjaan freelance setelah jam kerja selesai. Mungkin karena kerjaku bagus dan aku anaknya ngotot juga keras kayak batu. Aku pernah mengajukan pengunduran diri, tetapi ditolak.

"I also don't know why, to be honest."

Yatara meletakkan cangkir kopinya di meja kayu bundar yang kudapatkan dari toko furnitur bekas. "No one wants to let you go, I guess, including me."

"Let it go." Aku menyanyikan satu lirik dari film animasi kenamaan dan segera menyesal mendengar suaraku sendiri. Aku bukan penyanyi yang baik.

"I won't." Yatara memelukku. "Stay. You are Yatara Sahagung Casimira's sweetheart."

You are or you were, Yatara?

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now