06 - His Smirk

3.1K 767 70
                                    

Seberapa panjang selamanya yang sering dibicarakan orang-orang itu?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seberapa panjang selamanya yang sering dibicarakan orang-orang itu?

***

Kami senang menebak-nebak dan bertaruh soal sesuatu seperti jadi permainan buatku dan Yatara.

"Kira-kira dia pesan kopi atau teh?" tanya Yatara kala kami makan siang bersama di satu restoran baru di bilangan sibuk ibu kota. 

"Menurut kamu, sinetron A bakal tamat di episode berapa? Kayaknya episode lima ratusan." Aku harus cari-cari dulu di Google karena tak tahu sinetron mana yang Yatara maksud.

"Mau tebak nggak lagu yang terakhir kudengarkan judulnya apa?"

Yatara itu penggemarnya Ariana Grande dan lagu yang ia dengarkan itu-itu saja, jadi tebakanku lebih sering benar. Side To Side. 

"Kamu memang sering warnain rambut gitu, ya? Cocok, by the way." Yatara bertanya suatu kali sebab aku tiba-tiba datang di restoran tempat kami janji untuk makan malam, bersama dengan warna rambut cokelat madu dan bukan lagi merah kecokelatan.

"Lebih sering warna basic. Belum berani kalau warna cerah atau seberani biru dan ungu."

"Coba pink," katanya.

"Itu apalagi." 

"Coba deh nanti buat ulang tahunku."

Ulang tahun Yatara masih tiga bulan lagi. Akan tetapi, sudah dari jauh-jauh hari kami merencanakan untuk pergi liburan ke Bali. Soal penginapan, akomodasi, dan sebagainya Yatara yang urus. Dia yang banyak uang, soalnya.

"Nanti kupikirkan."

"Kalau rambutku pirang, aneh nggak?"

"Mau coba? Aku bisa bleaching-in rambut orang."

"Hari ini banget?" 

"Kalau kamu mau, ayo aja."

"Besok, deh." Yatara menyisir rambutnya yang segelap langit malam itu. "Pengin puas-puasin rambut gelap dulu."

Setelah makan malam, kami pergi ke bioskop tanpa tahu apa yang mau ditonton. Pada akhirnya, kami memilih film yang sudah cukup lama tayang, berharap sedikit saja yang menonton dan kami bisa mendapat dua kursi pojok atas seperti spot biasa bila kami nonton. Film itu film horor yang sudah menurun hype-nya.

Kalau mau dihitung, cuma sepuluh orang yang membeli tiketnya termasuk kami pada saat itu.

"Kalau takut nggak usah ragu sembunyi di balik lenganku, ya." Yatara menunjukkan seringainya.

Aku menyipitkan mata. "Aku lebih jago nonton horor dibanding kamu."

"Oh, iya." Dia menegakkan duduknya di kursi penonton.

Di layar besar di depan, iklan baru selesai dan pop corn asin Yatara sudah tinggal setengahnya. Aku menawarkan milikku, rasa karamel. Dia menggeleng dan berkata, "Maunya yang itu?"

"Apa? 

Yatara menunjuk bibirku.

"Baru mulai," balasku tanpa suara. "Yang bener aja."

Yatara tersenyum lebar, dia menempatkan pop corn-nya pada tempat menaruh makanan di kursi penonton. Tangannya terulur padaku, minta digenggam. Aku menyambutnya. Sebab kalau tidak, dia pasti merajuk.

"Buatku nggak seseram yang dibilang orang-orang." Yatara tiba-tiba mendekat dan berbisik di tengah-tengah penayangan film ini.

"Buatku juga nggak," balasku seadanya.

"Jadi?"

"Jadi?" Aku menoleh karena bingung harus merespons apa. Rasanya agak tidak mungkin kalau Yatara mengajakku keluar di tengah-tengah durasi meski buatnya film ini tidak menyeramkan.

Wajah Yatara tinggal beberapa sentimeter dariku, bibir kami hampir bertemu. 

"Yang lain nggak bakal lihat." Yatara menyeringai untuk lagi.

Memang tidak ada yang melihat ketika kami berciuman lama di area kursi paling pojok itu.

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now