10 - His Warmth

2.5K 707 102
                                    

Lampu kamar Yatara padam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lampu kamar Yatara padam. Satu-satunya penerangan di ruangan itu adalah lampu tidur kekuningan redup di nakas. Yatara memelukku erat-erat dari belakang. Selimut menutupi tubuh kami setinggi perut. 

"Papa sempat telepon aku."

Yatara akhirnya buka suara juga.

"Dia tanya kabarku gimana, tapi kayak buru-buru." Tangan Yatara bergerak, mencari tanganku. Ketika dia temukan, langsung digenggamnya erat. "Pembicaraan kami selanjutnya tentang bisnis. Cluster baru di Serpong sebentar lagi buka, grand opening. Dia juga berambisi invest apartemen di Bandung. Bosenin sih, obrolannya."

"Lama ya, ngobrolnya?"

"Lumayan." Bisa kurasakan bibirnya di leher belakangku. "Nggak enak, sebenernya. Bicarain hal begitu lebih nyaman ketemu langsung. Tapi ini Papa."

Tapi ini Papa. Seakan itu adalah alasan paling logis untuk menjawab misteri paling aneh sekalipun.

"Ada masalah?"

Yatara memintaku berbalik agar kami bisa saling bertatap muka. Penerangan yang redup ini membuatku tidak bisa melihat tiap detail Yatara seperti biasanya. Sebelum aku sempat berusaha pun, Yatara sudah mendekat dan memberiku ciuman yang terburu-buru. Bibirnya menghisap milikku terlalu kuat, napasnya segera habis detik berikutnya.

Yatara mungkin merasa malu, dia membuang pandangan sebentar dan mengusap bibirku sekilas. "Bukan tentang bisnis."

"Itu masih berhubungan dengan bisnis, kurasa."

"Mungkin."

"Kapan kalian bakal bertemu secara resmi?"

Yatara lagi-lagi menghindari tatapanku. "Minggu depan. Aku nggak mau."

"Mau atau nggak, kamu tetap harus datang, 'kan?"

Mata Yatara memejam, tetapi tangannya mengelus rambutku tanpa henti. "Can we just ... run?"

"Yatara."

Kami bisa saja bermimpi setinggi mungkin. Namun, percuma. Salah satu dari kami harus ada yang lebih realistis. Mungkin itu peranku. Mungkin memang aku yang harus menyadarkan Yatara, bahwa kami sama-sama tahu suatu saat kami akan bertemu kemungkinan untuk berhenti.

"Aku nggak bisa lebih jauh lagi dari Mamaku." 

Kami terpaut tiga setengah jam perjalanan kereta. Dia kadang-kadang menelepon di malam hari, takut aku sibuk dan ingin beristirahat setelah bekerja. Aku tidak pulang sesering itu. Mungkin satu tahun hanya dua atau tiga kali.

"Dan, aku nggak mau kamu melepaskan segalanya cuma demi aku."

"But you are my everything."

"Dia mungkin lebih baik dari aku."

Tentu saja perempuan penerus dinasti bisnis apartemen di beberapa kota itu lebih baik daripada aku. Tidak perlu dibandingkan pun sudah kelihatan. 

Kalau perjodohan itu berhasil–dan pasti berhasil–itu bakal sangat baik bagi keluarga Casimira.

Atau bisa diartikan sebagai akhir dari kami.

"But I don't want her. I want you." Suara Yatara terdengar serak. "She will understand if we–"

"Yatara." 

Sejak awal kami sadar ini tak akan berhasil.

Rasanya seperti ajang menyakiti diri sendiri.

Yatara bergerak ke atasku, kedua tangannya ada di samping kepalaku. "I won't give up."

Dia menghapus jarak di antara kami. Kecupan-kecupan familier itu. Panggilannya tepat di telingaku.

Ketika aku melingkarkan tangan di leher dan duduk di pangkuannya, pandangan kami bertemu. Sekilas kami sama-sama mengenali ketakutan dan kekhawatiran masing-masing, tetapi kami menyingkirkannya begitu bibir bertemu.

Di luar hujan mulai turun dan kami berbagi hangat semalaman.

Kalau pertaruhan ajang menyakiti diri sendiri ini adalah Yatara, laki-laki ini, maka semuanya sepadan.

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now