07 - His Hair

2.8K 762 122
                                    

Tak ada penyesalan yang pernah terpikir, meski awal selalu dihadapkan dengan akhir

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tak ada penyesalan yang pernah terpikir, meski awal selalu dihadapkan dengan akhir.

***

"Kok panas?"

Lewat cermin besar di bagian depan kamar Yatara, aku bisa melihat laki-laki ini mengerutkan keningnya.

"Kerjanya memang gitu, panasnya ngilangin pigmen asli rambut yang dikasih bleach." Aku tetap mengoleskan dan menyisir rambut Yatara dengan telaten. Tidak ada cara lain. Kalau aku tidak melalukannya dengan benar, nanti warnanya tidak rata. 

"Kamu nggak repot begini terus kalau mau ganti warna?" 

"Nggak selalu bleach, kok. Seringnya kan, aku warnain warna cokelat. Perih nggak?"

"Dikit." 

Aku tidak tahu Yatara sedang jujur atau dia ingin kelihatan tak tergoyahkan oleh apa pun. Tebakanku sih, yang kedua. Sejak tadi keningnya mengerut terus, soalnya. Matanya menyipit.

"Kalau perih nggak usah ditahan."

"Iya, perih. Lebih banyak sedikit dari dikit."

Kan.

Istilahnya aneh, omong-omong. Berbelit-belit.

"Nih orang-orang di kantor kamu nggak bakal ngomel emangnya, kalau rambutmu jadi pirang?" 

"Nggak lah, aku kan bosnya."

"Dih." Aku tertawa bersamanya.

"Papamu gimana?"

Yatara tidak langsung menjawabnya. Bukan karena dia ragu soal jawabannya, aku bisa mewakilkannya untuk bilang ayahnya tak cukup peduli dengannya selain pekerjaan Yatara dalam usaha turun temurun keluarganya itu. 

"Nggak gimana-gimana." Yatara pada akhirnya membuka mulut. "Ini masih lama?"

Yatara tak mau membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan ayahnya lagi, jadi aku segera menyingkirkan topik itu. "Setelah rata, nanti didiemin tiga puluh menitan."

Selesai meratakan dan memakaikan Yatara shower cap biar panasnya merata, aku duduk di depan Yatara dan menggenggam tangannya. Sementara itu, Yatara masih melihat bayangannya di cermin dan tersenyum lebar. "Lucu, ya," ucapnya.

"Kalau nanti kamu nggak suka hasilnya, gimana?"

"Tinggal diwarnain hitam lagi." Yatara melepaskan genggamanku. Sebagai gantinya, dia menepuk-nepuk dadanya dan memintaku bersandar padanya. Aku menurut dan segera mendapat kecupan di pipi.

"Gimana hari ini?"

Pertanyaan Yatara membuatku sempat ditarik memori pekerjaan hari ini. Minggu ini minggu terakhir anak magang yang menghapus bahan postingan, tetapi dia masih saja membuat masalah. Dia lupa mengganti akun sosial media saat mengomentari suatu postingan gosip di Instagram. Dia masih pakai akun sosial media perusahaan. Jadinya
perusahaan tempatku bekerja jadi terbawa-bawa. Komentarnya cenderung negatif.

Bukan aku yang mengurus memang, divisi public relation atau PR yang turun tangan. Untung saja begitu. Sebab kalau aku yang disuruh menyelesaikan masalahnya, pasti kumaki-maki anak magang itu.

Kalau dia pekerja biasa sepertiku, sudah pasti kena pecat. Awas saja jika nanti setelah lulus dia dapat slot jadi budak korporat di kantor. 

Ketika kuceritakan hal itu, Yatara malah tertawa. "Coba praktik kamu lagi marahin dia."

"Kalau mau komentar sesuatu di sosmed, coba dilihat dulu jari-jarinya. Yang nyuruh jari-jari kamu gerak itu siapa? Otak kamu. Bisa dikontrol. Logikanya semudah itu, ya? Ngecek sosial media yang sedang kamu pakai seharusnya lebih mudah lagi, 'kan?"

Yatara terbahak-bahak. Dia memang paling suka kalau aku sedang berapi-api begini. 

"Lucu ya, buatmu?"

"Iya. Lucu." Tangan Yatara mencubit kedua pipiku. "Pacar siapa ini, pacar siapa?"

Kadang-kadang Yatara bisa jadi kekanakan.

"Semoga malam ini kayak malam-malam sebelumnya." Tiba-tiba Yatara berkata demikian.

"Kenapa?" tanyaku.

"Mama Papa nggak datang, maksudnya." Yatara berkaca, menyadari warna rambutnya tidak lagi gelap seiring berjalannya waktu, bukan hanya karena produk bleach menyelimuti rambutnya. "Aku lebih suka sendirian di rumah. Pekerja-pekerja sih, nggak masuk hitungan."

"Memang kalau sendiri terus, mau ngapain?"

"Mau pacaran terus sama kamu."

"Mereka udah tahu soal kita."

"Memang udah, tapi kan nggak sebebas yang kumau."

"Sebebas apa?"

Yatara melirik jam dinding. "Kayaknya udah tiga puluh menit. Bantu keramasin, nanti kukasih tahu sebebas apa."

Jadi arti sebebas bagi Yatara adalah aku mengenakan kausnya yang kebesaran di tubuhku, aku membuat cemilan di dapur sementara dia memelukku dari belakang, bernyanyi bersama keras-keras tak peduli siapa-siapa, dan tidur semalaman dalam pelukannya.

"Kamu mikirin yang lain, ya?" tanya Yatara geli sementara aku menghirup perpaduan wangi kayu manis dan cendana darinya. 

"Iya," balasku jujur. "Kalau main, aku agak berisik soalnya."

Aku agak tersentak sebab Yatara tertawa kencang sekali. "Terus manggil-manggil namaku. Tara, Tara."

Yatara masih tergelak sampai aku memukul dadanya pelan. "Ssstt. Aku mau tidur."

"Aku ganteng nggak?"

"Kenapa nanya begitu?"

"Kan, rambutnya baru."

"Lumayan."

"Cuma lumayan?"

"Iya, lebih ganteng kalau kamu biarin aku tidur hari ini."

Yatara menepuk-nepuk punggungku. "Oke, Babe."

Aku berbohong kala itu. Meski Yatara dengan rambut hitam itu superior, tetapi Yatara dengan rambut pirang punya pesonanya sendiri. Ganteng tidak cukup untuk bilang dia lebih dari menarik.

Sayang kamu nggak akan warnain rambut jadi pirang lagi.

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now