13 - His Denim Jacket

2.1K 663 73
                                    

Aku berdeham merasa kesakitan sewaktu menelan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku berdeham merasa kesakitan sewaktu menelan. Yatara melihat gerak-gerikku, memiringkan kepala, sedang mengira-ngira apa yang terjadi. Tubuhnya masih setengah telanjang, katanya Jakarta terlalu panas. Sebaliknya, aku merasa sedikit kedinginan. Mungkin masuk angin atau terlalu lama duduk di bawah AC di kantor.

"Kenapa, Babe?" Dia meraihku ke dalam pelukannya. "Dahi kamu hangat. Sakit?"

"Mungkin."

"Kubikinin teh panas, ya?" 

"Sebentar lagi." Pipiku menempel pada dadanya yang hangat. Dalam jarak sedekat ini, aku masih bisa menghirup aroma parfum Yatara yang khas–hangat dan kuat. Tanganku melingkar di pinggangnya. "Kayaknya persediaan teh di dapur juga habis," kataku setelah berusaha mengingat-ingat.

Sementara satu tangannya masih memelukku, tangan kiri Yatara mengambil jaket denimnya yang dia lempar sebelumnya ke atas tempat tidur beserta kaus hitam kesayangannya. Kausnya dia pakai lagi, sedangkan jaket denimnya dia pakaikan padaku.

"Aku ke bawah dulu buat beli beberapa barang termasuk teh buat kamu." Yatara memberiku kecupan di dahi. "Titip dulu ponselku."

"Nggak dibawa aja buat bayar belanjaan pakai dompet digital?"

"Aku ada cash, kok. Tiduran aja di tempat tidur dulu."

Yatara memakai sepatunya asal-asalan, menginjak bagian belakang sepatunya dan keluar dari apartemenku. Aku menghela napas dan melemparkan diri ke tempat tidur seperti yang Yatara katakan.

Dari jaket Yatara yang kebesaran aku menghirup baunya yang tertinggal. Sebenarnya perbedaan tubuh kami tidak sejauh itu. Aku memang tidak setinggi Yatara, tetapi tengah kurusan, jadi apa-apa yang dikenakannya pasti kebesaran buatku. Yatara memang jangkung dan tegap, tangannya besar.

Ponselku dan ponselnya berasal dari brand yang sama, tipenya persis.  Lalu, keduanya mengenakan case hitam matte pula. Sehingga ketika salah satu bergetar di atas tempat tidur, aku tidak tahu ponsel siapa yang menerima pesan sore-sore begini. Kalau punyaku datang dari kantor dan urusan pekerjaan, jarang kutanggapi. Mereka hanya membayarku buat kerja di kubikel sempit gedung kantoran di bilangan sibuk Jakarta, bukan di tempat tinggal atau seluruh Jakarta. 

Sambil masih berbaring, kuangkat salah satu ponsel. Ternyata ponselku, tidak ada notifikasi baru. Berarti punya Yatara.

Pesan dari ayahnya.

Dan ada namaku dalam pesan itu.

... sudah cukup kamu bermain-main. Akhiri hubungannya.

Sebentar lagi makan malam pertama dengan mereka. Jangan terlambat.

Kini kepalaku pening dan tenaga untuk sekadar melepaskan ponsel Yatara tak lagi kupunya.

"Babe, aku beli bubur instan juga. Nanti makan, ya."

Yatara datang setelah aku memandang langit-langit entah berapa lama hitungan waktunya. Bersamanya, ada kantung plastik berisi belanjaan yang sekarang beberapa ia keluarkan dan letakkan di atas meja kamarku. Salah satunya adalah teh tanpa rasa yang sebentar lagi akan ia seduhkan untukku.

Kuulurkan ponsel Yatara kepadanya, dia menerima benda pipih itu, masih dengan ekspresi menyenangkan. Sedikit senyum karena melihatku lagi. Dia bersenandung, membuka ponselnya, dan diam sepenuhnya.

Yatara membelakangiku, mengusap wajahnya, dan mengembuskan napas pelan-pelan. Di antara kami hanya ada senyap. 

Aku duduk di tepi tempat tidur. Ketika Yatara kembali menghadap padaku dan mendekat, sakit kepalaku datang. Dia berlutut, matanya tak terputus menatapku. "We can through this together."

Aku tidak mengatakan apa-apa.

***

To be continued.

***

Him ✓Where stories live. Discover now