Chapter [21]

471 50 1
                                    

Seperti janjinya tadi pagi, Aldi dan Reano kini sudah berada dihadapan Dante. Keduanya masih sama-sama memakai seragam karena tidak sempat untuk ganti terlebih dahulu sebab Dante begitu rewel ingin segera ditemani. Kadangkala, sifat Dante yang seperti ini membuat sakit kepala. Tapi untuk kali ini, Reano dan Aldi berusaha memaklumi. Dante kesepian dan butuh ditemani, sebagai sahabat yang baik, kebahagiaan Dante adalah yang utama.

Seperti sekarang ini contohnya, mereka berdua hanya bisa menatap Dante dengan mulut terbuka. Bagaimana tidak? Saat diperjalanan ke rumah sakit, Dante terus menerus menyuruh untuk mampir ke berbagai tempat untuk membeli berbagai jajanan yang berada di sepanjang jalan. Membeli siomay lah, cilok lah, dan banyak lagi, semuanya hampir Dante pesan. Dan kini, Dante tak nampak seperti orang sakit, justru orang yang tengah kelaparan. Lahap sekali Dante memakan semuanya. Padahal Aldi dan Reano belum sempat dipersilahkan duduk.

"Pelan-pelan, Dan, jangan sampai lo celaka cuma gegara cara makan lo rusuh kek babi." Itu Reano yang memberi peringatan. Memutuskan duduk tanpa menunggu perintah dari Dante yang tak peduli setan dengan kehadirannya. Aldi turut mengikuti pergerakan Reano. Menyamankan duduknya dan setelahnya meregangkan tubuhnya yang terasa lelah sebab dia yang terlalu bersemangat menemui sahabat batunya itu. Mana diacuhkan lagi.

Berhenti sejenak dari acara makannya, Dante menatap Reano sensi. Dante mengacungkan tusuk telur gulung yang telur nya telah masuk ke mulutnya. "Lo nggak tau aja, makan kayak gini tuh cara paling ampuh buat ilangin stress. Dan baru hari ini gue bisa leluasa ilangin stress yang udah numpuk di kepala berhari-hari. Jadi, Lo ... No comment, okey?"

"Jangan dihabisin semua, sisain buat gue. Orang sakit nggak boleh banyak-banyak makan jajanan yang belinya di jalanan. Nggak higienis ya kan, Al?" Tahu tabiat Reano, Aldi hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Kedua sahabatnya itu memang tidak lebih baik dibandingkan dengan tahi. Iya, tai, sebab tak ada lagi kata yang pas untuk menggambarkan kelakuan dua orang manusia setengah setan yang faktanya keduanya adalah sahabatnya.

Aldi berdiri, berjalan mendekati Dante. Mengambil paksa plastik isi makanan yang belum terjamah tangan kelaparan Dante. Lalu menyerahkan begitu saja pada Reano yang menerimanya dengan senyum kemenangan.

"Thanks, babe." Reano bersorak gembira dan Aldi mengacungkan kepalan tinjunya ke arah Reano yang kini tengah sibuk membuka-buka isi makanan. Terkesan tak peduli dengan ancaman dari tangan Aldi yang mengepal di udara. Aldi geli sekali mendengar ucapan abnormal Reano.

"Udah stop makannya! Sekarang jelasin ke gue sama Reano tentang kejadian yang sebenarnya sampai lo bisa nginep disini."

Masih mengunyah, Dante enggan mengacuhkan telur gulung yang rasanya sungguh enak. Membiarkan Aldi berdiri menatap nya dengan tatapan menuntut. Sesekali, Dante memberikan Aldi cengiran khasnya. Yang bisa diartikan 'kalau kepo ya harus sabar nunggu dong.'

"Sebenarnya gue tuh males flashback, Sat. Tapi kalau lo maksa ya bentar, sabar, gue mau balikin mood dulu," kata Dante karena melihat muka keruh Aldi.

"Ck, oke." Mengalah itu yang Aldi lakukan. Berdebat dengan orang yang kepalanya berisi batu semua itu melelahkan.

"Udah, Al ... Nunggu sini aja sambil makan ini nih. Kepo nggak bikin kita kenyang kali," ujar Reano namun tak ada tanggapan dari Aldi. Aldi masih sibuk memperhatikan Dante, keadaan kawannya itu benar-benar memprihatinkan. Perban melilit tebal melingkari kepalanya. Sebenarnya apa yang telah terjadi?

Dan setelahnya hening. Dante memakan makanan didepannya sedikit minat. Otaknya kembali dibuat mengingat ingat kejadian yang ingin sekali dia enyahkan dalam memori otaknya. Rupanya, terbiasa mencoba tenang dalam segala hal tak memberikan efek apapun. Justru semuanya menjadi semakin sulit. Denta semakin sulit dia gapai. Papah dan mamah pun juga begitu, ternyata menjadi dewasa sesulit ini.

Nanteta«HIATUS»Where stories live. Discover now