Chapter [12]

576 67 3
                                    

Tap your star now!!! And, happy reading gaeseu ....

.
.
.
.
.

Sinar matahari pagi menerobos paksa dari celah-celah fentilasi rumah. membuat remaja yang tengah lelap terbangun dari tidurnya yang gelisah. Sebenarnya bukan perihal silau cahaya sang surya yang membuatnya terbangun. Tapi memang pemuda itu sudah terlatih untuk memulai hari lebih awal dari orang lain yang berada di rumah ini.

Ia menggeliatkan badannya guna mengusir rasa kantuk yang masih bersarang. Kepalanya menengok ke sekeliling. Hingga terhenti ketika menemukan ada pemuda lain yang tertidur di sebelahnya. Gurat sendu menghiasi wajah tampannya. Mengingat kejadian kemarin yang sulit untuk dilupakan.

Rasa kebas di tangan kirinya semakin membuatnya mengingat jelas. Di sana, sudah terbalut perban putih tebal yang melilit rapi. Mengingat kejadian itu, dirinya menjadi malu. Kenapa dirinya kemarin terlihat begitu bodoh? Ah, mau ditaruh di mana mukanya ini nanti.

Ia memilih abai. Daripada terus dipikirkan dan membuatnya semakin dipundung rasa yang tak nyaman.

Dante menggeliatkan tubuh jangkungnya sekali lagi. Kantuknya sudah benar-benar pergi, hanya tubuhnya yang terlampau pegal membuatnya malas untuk sekedar bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Tak ada niatan sedikitpun untuk membangunkan sang adik yang masih pulas walau sang fajar sudah bersinar cerah. Cuitan burung juga sudah saling bersahutan membuat bising, namun enak didengar. Dirinya belum siap saja menghadapi sifat Denta yang pasti akan kembali seperti biasanya. Kadang, Dante membenci sifat Denta yang seperti ini. Gengsinya setinggi langit. Dan itu membuat jarak terbentang semakin lebar diantara dirinya dan Denta.

"Denta, apa gue sakit terus aja ya, biar lo bisa baik sama gue," gumamnya sendu.

Karena insiden semalam, pagi ini Dante keteteran karena menyiapkan jadwal pelajaran hari ini. Melewatkan jam belajar biasanya akan berimbas pada dirinya jika bertemu sang ayah. Tapi sepertinya, untuk kemarin pengecualian. Sang ayah menepati janjinya untuk membebaskan Dante satu hari untuk beristirahat. Jarang sekali sang ayah bersikap demikian, ataukah sang ayah sudah mulai sadar jika terlalu mengekang sang anak. Tapi sepertinya mustahil. Iya, mustahil sekali.

Setelah bersiap, tiga puluh menit kemudian Dante sudah rapi membawa tasnya yang sengaja ia tenteng tanpa semangat. Jaket membalut tubuhnya yang jangkung karena tahulah bagaimana keadaan tangannya. Dirinya tak ingin saja sahabatnya bertanya-tanya apa yang telah terjadi dengan tangannya. Cukup dirinya saja yang bingung tak usah ada orang lain lagi.

"Bi, saya berangkat dulu ya. Mau minta tolong juga, tolong bangunin Denta yang masih tidur di kamar saya," pamitnya pada sang asisten rumah tangga yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.

"Loh, nggak sarapan dulu bareng mama papa?"

"Nggak deh, Bi. Nanti kalau orang rumah ada yang nanya, bilangin aja kalau Dante ada tugas sama temen kelompok. Dah ya Bi, assalamu'alaikum." Dante mengakhiri ucapannya dengan senyum miris. Mustahil sekali papah dan mamah nya bertanya soal keberadaannya.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas!"

Dante mengeluarkan motor besarnya dari garasi. Memanasi nya sebentar sebelum melaju membelah jalanan yang mulai ramai. Pagi yang indah yang sayangnya tak terlalu ia nikmati.

Nanteta«HIATUS»Where stories live. Discover now