Chapter [9]

517 72 2
                                    

Tap your star now!

Happy reading kawan.

.
.
.

Angin panas terasa berembus menerpa wajah kedua saudara yang terduduk dalam diam. Yang satu sibuk mengawasi dan satunya lagi sibuk mendengus menyayangkan nasib sialnya hari ini. Dua-duanya sama-sama berwajah masam dengan garis wajah yang sama-sama mengeras.

"Apa liat-liat?!" ketusnya. Ia memalingkan wajah angkuh. Berdecih tak suka saat Dante menatapnya terus menerus. Matanya memandang nanar tembok tinggi yang tak sempat ia naiki sebagai jalan membolos tadi. Menyayangkan nasibnya hari ini yang sedikit kurang beruntung.

Dante menghembuskan nafas lelah, harus selalu sabar untuk menghadapi adik bandelnya ini. Hening panjang diantara keduanya hingga ponsel di saku celana Dante tiba-tiba berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari sahabatnya. Ia menjauhkan ponselnya. Tak ada niatan di dalam dirinya untuk menjawab panggilan itu. Biarlah waktunya tersita hanya untuk meladeni Denta. Pasti Reano mencarinya. Kali ini ia akan sedikit memberontak, tak apa ia akan mendapatkan amarah dari sang ayah akibat bolosnya ia hari ini. Dan sekali lagi, ia tak akan menyalahkan Denta.

"Angkat, goblok! Berisik banget."

"Biarin. Gue nggak mau diganggu."

"Alah! Terus kenapa malah ganggu gue?!" ketus Denta sebal.

"Karena gue kakak lo, jadi bebas dong gue ganggu lo sesuka hati." Sibuk mengotak-atik ponselnya. Merubah menjadi mode silent agar tidak terlalu mengganggu.


"Cih, bacot!"

Dante tak menyahuti lagi. Tak akan pernah berakhir jika debat yang tak berguna itu akan diteruskan. Karena dirinya juga Denta sangat pandai berdebat. Entah turunan dari siapa. Mamah dan papah keduanya selalu terlihat kalem dan elegan. Ya, cuma di luar kok. Kalau di rumah, entahlah dirinya lupa perilaku orangtuanya dulu yang bagai malaikat. Sekarang mungkin sudah setengah iblis, ups!

Hari ini benar-benar terik. Cahaya matahari nampak silau saat Dante mendongakkan kepalanya. Ah, Dante tak suka. Ia benci berkeringat karena tersengat panas matahari. Dirinya selalu menghindari segala macam kegiatan yang dilakukan saat siang bolong, sangat menghindari malah. Bukan pantangan sebenarnya. Tubuhnya baik-baik saja, ya dasarnya ia tak suka hawa panas, itu saja. Tapi kali ini beda lagi, demi Denta ia rela melakukan apapun itu. Hmm ... A-pa-pun-i-tu.

Dante berdiri. Menepuk-tepuk  celananya yang kotor akibat remahan kotoran yang berada di tanah. Inginnya pergi ke kantin karena perutnya sudah berdemo akibat meninggalkan waktu istirahatnya tadi. Lagipula, kantin pasti sepi. Jadi ia tak harus berdesakan untuk mendapatkan makanan yang ia inginkan. Dan satu lagi, ia tak akan berkeringat karena berdesakan.

"Gue mau ke kantin, lo titip nggak?"

Denta tak menyahut. Kepalanya terus mendongak menatap tembok tinggi belakang sekolah. Matanya menyiratkan rasa sebal tiada tara. Dante mengerti, sang adik pasti sangat marah kepadanya. Tapi, demi kebaikan bersama dirinya harus menghalangi kegiatan tak terpuji Denta. Ck, semua yang dilakukan Denta memang selalu tak terpuji. Hanya membuat rugi sang kakak. Denta itu definisi adik yang benar-benar laknat.

"Eh, nggak jadi. Lo nanti kabur dan gue nggak mau nanggung akibatnya." Dante merubah pikirannya. Ia duduk lagi di samping Denta yang terlihat mendengus. Dante tersenyum, kali ini ia tak boleh lalai membiarkan Denta membolos.

Nanteta«HIATUS»Where stories live. Discover now