Chapter [11]

596 71 6
                                    

Sebelum membaca harap hargai penulis dengan tekan bintang di pojok kiri bawah.
Terimakasih dan Happy Reading~

.
.
.

Seperti pentingnya mendung sebelum hujan, seperti berartinya udara bagi kehidupan, dan seperti indahnya pelangi setelah hujan. Itulah diriku, berarti hanya karena saat aku dibutuhkan.
_Nandante_




|||


Mendung di atas sana sudah sepenuhnya menggelap. Sebentar lagi mungkin hujan akan turun. Seorang pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah dilapisi jaketnya tengah berdiri gamang memandang air sungai di bawah jembatan tempatnya berdiri sekarang ini. Hela nafas kasarnya terdengar jelas karena suasana sore yang benar-benar sepi. Seharian ini ia sudah melalui hari yang sangat berat.

Kakinya kembali melangkah pelan. Menyusuri jalan yang akan membawanya pulang. Sesekali ia berhenti karena tubuhnya yang terlampau lelah untuk melangkah.

"Tinggal sedikit lagi, Dan. Lo pasti bisa, huh!" support nya pada dirinya sendiri.

Kompleks perumahannya sudah terlihat di depan mata. Jeda sejenak sebelum memasuki perumahan, Dante mengatur nafasnya yang memburu.

Tidak terbesit penyesalan sedikit pun di hatinya setelah menempuh jarak panjang pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki. Jarak antara kantor sang ayah dan rumah lumayan jauh. Dan dirinya butuh dua jam untuk bisa sampai di posisi saat ini. Menguras tenaga juga waktu. Namun setidaknya, sakit di hatinya sedikit berkurang akibat tubuh lelahnya. Sakit yang disebabkan oleh orang yang namanya sering ia panggil 'ayah.

Sakitnya tidak hilang sih, hanya sedikit teralihkan saja.

Pukul lima lebih delapan menit Dante tiba di depan gerbang besar rumahnya. Nafasnya berhembus lega, saat kakinya menjejak di depan pagar kokoh rumahnya. Akhirnya ia bisa sampai di rumah.

Terlihat dari celah pagar, Pak Ubay satpam rumah berlari tergopoh-gopoh dari teras untuk membukakan gerbang untuknya. Terlalu berlebihan baginya. karena itu tidak perlu. Ia masih punya dua tangan yang utuh untuk melakukannya sendiri. Hanya hal sederhana, tapi bisa membuat senyum diwajahnya terulas tipis.

"Saya bisa buka sendiri kok, Pak."

"Saya tahu kok, Mas. Lha tugas saya kan memang ini, kalau semuanya dilakukan sendiri ya saya makan gaji buta dong. Nggak baik buat keluarga saya di desa dong, Mas," jawab Pak Ubay yang hanya ditanggapi Dante dengan senyuman.

"Ya sudah, Pak. Saya masuk dulu ya," pamitnya sedikit membungkukkan badan jangkungnya.

Pak Ubay sedikit tersentak. Kelakuan tuan mudanya yang satu ini memang selalu membuatnya tersentuh sekaligus tersentak. Dante terlampau sopan untuk menghormati satpam rumah seperti dirinya ini. Dante memang sesuatu, hatinya selembut itu jika hanya untuk dilukai. Terlebih orang tuanya.

Semua pelayan di rumah sudah tahu bagaimana kelakuan sang tuan kepada si sulung. Entah apa masalah yang terjadi di antara keduanya. Keluarga ini terlihat harmonis di luar, tapi bobrok di dalam. Hanya kepalsuan yang diperlihatkan kepada publik. Kasihan Dante, adanya hanya dianggap sebelah mata.

Kaki lemas nya ia paksa seret kembali guna bisa sampai di kamarnya. Di ujung tangga atas, ia menemukan saudaranya yang tengah bersedekap dada. Dante acuh, ia melewati Denta begitu saja. Tanpa sapaan ceria seperti biasanya. Hari ini ia benar-benar lelah.

Nanteta«HIATUS»Where stories live. Discover now