CHOOSE |•| Chapter 4

Start from the beginning
                                    

Lagi-lagi helaan napas terdengar.

"Ka Gema beruntung banget bisa dapetin ka Fio, secara ka Fio kalian tahu sendirilah."

"Gue denger dari kating kalau ka Gema bucinnya kebangetan. Ka Fio juga cuek angkuh gitu ternyata nih, ya, saking baiknya apapun yang ka Gema mau pasti ka Fio kasih. Lo percaya gak ulang tahun ka Gema aja dikasih motor dong!"

"Anjir, kelebihan duit, sih itu."

"Masa, sih? Lily juga mau motor kan enak buat kuliah gak harus naik angkot."

"Tapi lo pernah mikir gak kalau kebucinan ka Gema itu cuman manfaatin kebaikan ka Fio. Ya motor aja dikasih apalagi yang lain?"

"Min, lo jadinya suudzon tahu."

"Iya, nih. Mina, kan belum tentu bener juga."

"Tapi, ada benernya juga, sih. Lily juga terlintas mikir gitu."

"LILY DIAM DULU!"

Sudut bibir Gema terangkat, tidak asing untuk mendengarkan hal yang sebetulnya Gema sendiri sudah bosan. Gema bangkit dari posisi terlentangnya, menghunuskan rokoknya yang tinggal sedikit. Dilihatnya punggung lima mahasiswa yang asyik bergosip itu semakin menjauh, Gema tidak tahu siapa mereka tapi Gema akan menyebutnya sebagai mahasiswa sampah.

Suara dering telepon terdengar. Dilihatnya Tertera nama Fio di sana.

"Fi!"

"Gem, udah pulang?"

"Masih di kampus."

"30 menit lagi jemput gue, bisa?"

Gema melirik jamnya, "Shareloc. Ok!"

"Gem, tapi nanti beli dulu pochajang yang biasanya, ya. Minumnya terserah lo aja."

"Iya, Fi. Ada lagi gak?"

"Sekalian ke apotek, ya Gem. Obat vertigo sama jamu datang matahari."

"Iya, Fi."

"Oh, iya. Gem kayanya gu—"

"Fi, ayok mulai!" Teriakan di sebrang sana terdengar oleh Gema tidak asing.

"Gem, nanti gue kabarin lagi."

"Fi?"

"Gem, sebentar. Gue past—"

"Shareloc sekarang juga!!!"

Gema bergegas dengan tergesa. Membuka pesan yang dikirim dari Fio bermaksud untuk menenangkannya. Tidak peduli itu semua Gema segera mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Memang tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Gema sampai ditujuan. Dari luar Gema bertemu dengan orang-orang yang tidak asing bagi Gema. Masuk ke dalam, suasananya menjadi beda pasalnya ada beberapa orang yang tidak Gema kenali. Mata Gema menjelajah, di sudut kanan terlihat Fio yang tergesa membereskan barang miliknya. Tidak jauh dari Fio ada seorang laki-laki yang mencoba menahan Fio.

"Gue harus pergi, Qi."

"Gak bisa pergi gitu aja, Fi. Kita selesain kerjaan kita."

"Gak bisa. Gema tahu."

"Ya terus kalau Gema tahu, kenapa? Kita bisa jelasin kan sama dia."

"Gema gak akan mengerti kalau masalahnya ini."

"Fi!"

"Qi, gue mohon."

"Ini pekerjaan. Ketika lo udah terikat sama kontrak lo harus profesional."

"Gue bakal ganti penaltinya." Teriak Fio kencang cukup membuat Luqi terdiam beku.

Namun, kejadian itu cukup jelas terekam oleh Gema tepat di depannya membuat rahang Gema semakin keras, matanya tajam, napasnya memburu. Lekas Gema menarik Fio kuat menjauh dari sana. Mendorongnya tak terkendali.

Gema tidak bisa.

Untuk kali ini ia tidak bisa menahan amarahnya meski di depannya ada Fio.

Gema menjadi kalut sendiri. Ini salah, tetapi tidak bisa menahan. Rasanya Gema tidak berani untuk menatap Fio lebih lama lagi.

"Gem, kalau lo butuh gue pasti jelasin." Fio berucap dengan hati-hati.

"Lo pikir dengan hal yang gue gak suka gue butuh penjelasan?"

"Gue butuh pekerjaan ini, Gem."

"Gue gak pernah larang lo kerja selama ini, mau lo kerja sampe pagi ke pagi, sehari ataupun berbulan-bulan gue gak akan larang, Fi. Tapi kenapa partner lo harus dengan orang yang jelas-jelas berapa kali gue bilang sama lo untuk gak satu projek?"

"Gue butuh uang, Gem."

"Uang seberapa yang lo butuhin? Keluarga lo mampu, Fi. Nenek lo orang terpandang. Lo tinggal sebutin angka aja nenek lo bisa menuhin."

Fio menatap Gema tidak percaya. "Kalaupun mau gue pasti minta. Tapi enggak untuk kali ini. Gue pengen berusaha sendiri dan memang selalu seperti itu. Gue gak akan minta terlebih minta sama lo yang penghasilannya gak seberapa."

Kali ini Gema yang menatap Fio tidak percaya. "Fi, lo sadar sama omongan lo?"

Fio menjadi terbata, menutup mulutnya dengan tangan. Sumpah, Fio tidak bermaksud.

"Fi, omongan lo."

"Gem, maaf. Bukannya gue ngerendahin lo."

"Di saat gue gak peduli sama omongan orang lain ngerendahin gue. Tapi, denger langsung dari mulut lo bagi gue itu—"

"Gak gitu, Gem. Maaf, sumpah maaf banget gue gak bermaksud. Gem, Maaf!"

Fio mendekat, menarik tangan Gema dalam genggamannya. Fio tidak bersungguh-sungguh ketika mengucapkan kata itu.

Fio hanya kesal.

Dalam satu hentakan Gema melepaskan genggaman Fio, sangat kasar dan membuat Fio mengaduh.

"Gem!"

Sekuat tenaga Fio menahan tarikan dari Gema. Memohon dengan bersungguh-sungguh agar kesalahannya bisa dimaafkan, tetapi ketika melihat kilatan mata Gema yang benar-benar kalut Fio hanya bisa pasrah. Mengaduh kesakitan saat Fio dipaksa masuk ke dalam mobil.

"Gem, sumpah gue minta maaf. Gue janji gak bakal ingkar lagi!" Teriak Fio ketakutan disaat Gema mengemudi dengan kecepatan penuh. Jalanan sedikit lenggang justru membuat Fio semakin ketakutan. Gema memang berada dipuncak kemarahan yang sulit untuk ditenangkan.

Mobil berhenti tepat di depan rumah minimalis berwarna merah marun dengan pelataran yang dipenuhi tanaman yang sudah mati. Meskipun Gema tidak menyuruh Fio untuk turun tetapi secara otomatis Fio turun mengikuti Gema. Perlahan memasuki sebuah ruangan yang hanya tersedia satu kasur dan satu sofa panjang.

Klik...

Pintu terkunci.

Fio menatap naas dibalik pintu.

Ini adalah kesalahannya.

Dan ia mendapat hukuman.




To be continue.

CHOOSEWhere stories live. Discover now