II. Runtuhnya Alam Damai [3/3]

Start from the beginning
                                    

Dia tersenyum lebar seolah tak terjadi apa-apa, pula ia masih berani menoleh kepada Lucian yang telah bangkit dari duduk dan menghampiri keduanya. Maka dengan begitu, Rin memperkenalkannya, "Beliau Lucian Haasrecht, Ibu. Semua perjalanan dan pengetahuan beliau sangat menakjubkan."

Akhirnya manik batu kecubung Gentiana bertemu dengan sosoknya. Ya, sosok pria yang ia lihat beberapa waktu lalu di tengah temaram bersama Saqqarok.

Sekadar ia mengerjap, menyembunyikan kernyit yang nyaris ia ukir di keningnya. Si ibu asuh berdiri seraya menarik Rin ke dalam pelukannya.

"Saya memohon maaf jika merepotkan," ujar Gentiana kemudian, pula tersenyum kecil kala bertutur; memulai sandiwara. "Terima kasih telah menjaga Rin."

"Bukan masalah besar, Nona Gentiana. Anak-anak yang memiliki tekad besar harus diberi semangat agar kian mantap ia memupuk harapan dalam mencapai tujuannya." Manik keemasan yang dingin itu turun kepada Rin yang terkikik manis. "Saya tidak melakukan apa-apa selain bercerita. Beruntungnya, sahabat baru ini tidak keberatan mendengarkan semuanya pula."

"Begitukah? Syukurlah. Rin memang senang mempelajari hal-hal baru, sampai lupa waktu. Sungguh melegakan mendapati dia aman bersama Anda," balas si ibu asuh sementara tangannya menyibukkan diri membelai puncak kepala gadis kecilnya. "Namun, sepertinya kami harus segera berpamitan. Masih banyak yang harus kami lakukan sebelum malam menjelang."

"Tentu. Suatu keberuntungan besar dapat bertemu dengan Rin. Mungkin saya bisa menambah pengalaman mengesankan ini dalam buku harian saya pula."

Gentiana mengangguk sopan, tanda mereka harus bergegas. Demikian Rin berpamitan dengan ramahnya, mereka mulai menjauh.

"Rin, jangan lupa mengenai janji kita berjelajah bersama." Namun, sempat sebuah patah kata sukses menghentikan langkah mereka, sebab respon Rin begitu cepat menoleh ke sumber suara. "Dimulai dari meninggalkan tempat ini."

Sebentar Rin tertegun, Gentiana mengerling kepadanya.

"Luminesia? Tentu—"

"Bukan," potong Lucian segera. "Lebih tepatnya, meninggalkan Alam Khayal ini."

Barulah utuh Gentiana berbalik bersama kesiap panik. Dalam kecepatan satu kedipan mata, lekas keduanya berpindah tempat.

Tiada lagi pancuran, pula tumbuhan hias yang menghiasi setiap sisi pekarangan taman. Jangankan pekarangan yang disebutkan, bahkan tamannya pun sedikit pun tidak tampak.

Siang tergantikan oleh malam. Saat itu juga, Gentiana menyadari bahwa Rin menghilang dari genggamannya. Tinggal dirinya yang berdiri di pekarangan luas lagi jauh dari permukiman.

Dia sekali lagi dihadapkan dengan Lucian bersama seringai kecil di wajahnya. Namun, sedikit pun tiada kebingungan atau keterkejutan yang menghinggapi air muka Gentiana atas kejadian yang terpampang secepat kilat.

Jelas bahwa Gentiana yang bertindak atas segala hal yang terjadi saat ini.

Lucian pula mengetahui semuanya. Gerak kepala yang tak lama menghadap dengan tenang sebuah pohon bunga persik tua di sampingnya merupakan bukti terkuat akan pengetahuannya.

Tidak membutuhkan waktu lama, batang pohon itu berpendar. Terlihat pula sosok familier yang sepatutnya berada di antara mereka saat ini. Tanpa sehelai benang, ia tetap terlelap dalam posisi memeluk lutut dan mengambang.

"Terlalu awal memberitahunya semua yang kalian sembunyikan selama ini, benar? Karenanya kau tanpa ragu menyeretku kembali ke dunia nyata." Akhirnya Lucian bersuara. "Namun, mengingat kau terikat erat dengan Alam Khayal, tidakkah tempat perlindungan itu sedang rawan keadaannya jika kau berlama-lama di sini?"

SeeressWhere stories live. Discover now