Divanka
Siapa?


Tak ada lagi balasan dari Brian, padahal Divanka sudah mati penasaran siapa sosok yang mencarinya di kampus. Ya, bagaimana Divanka tidak heran, tumben sekali ada orang mencarinya disaat libur jadwal.

Kaki Divanka bergerak tidak tenang, ia menggerutu kesal dan mencaci maki Brian didalam hatinya. Bisa-bisanya Briang Kang itu membuatnya menunggu, padahal biasanya malah kebalikannya, apa ini yang namanya karma?


“Anjing banget sialan!” umpat Divanka.


Spontan beberapa orang yang tidak sengaja melewati Divanka menatapnya heran karena tiba-tiba mengumpat disertai mata sinisnya, sempat ingin menegur, namun Divanka terlalu malas hanya untuk bertengkar adu mulut.


TING


Kedua mata Divanka otomatis melotot ketika mendengar dentingan ponselnya terdengar kembali, dengan secepat kilat, Divanka mengeceknya berharap itu dari Brian.


Brian
Daniel nyariin lo disini.

Brian
Cepat yah?


---


Jae mendesah keras ketika dirasa semua pekerjaannya kacau, bahkan beberapa berkas membuatnya sakit kepala dibuatnya. Ia sudah melepas jas hitamnya dan melepas dasinya, tapi tetap saja membuatnya sesak, AC pun always menyala dan itu tidak berguna. Sepertinya hari ini ia akan terlambat pulang, ia hanya berdoa semoga Divanka tidak akan mengomelinya akibat lembur.

Bukan hanya Jae yang pusing, tapi Sungjin pun ikut pusing. Berhubung segala pekerjaan revisi adalah bagian Sungjin, jadi bisa dikata bahwa beban Sungjin itu yang lebih berat dibanding Jae meskipun Jae itu sang pimpinan.


CEKLEK


Lihatlah, bahkan Sungjin telah lupa cara mengetuk pintu ruangan Jae, dia tinggal masuk dengan raut wajah lelahnya lalu memberikan lima lembar map yang isinya adalah berkas-berkas penting yang harus Jae periksa sebelum diserahkan oleh bagian bersangkutan.


“Pusing gue.” keluh Sungjin.

Jae terkekeh pelan sembari menerima uluran map tersebut, “Gue juga.” balas Jae.

“Kalau lo selesai periksa ini, kita ke café depan dulu, ngopi.” ucap Sungjin.

“Iya, gue juga butuh caffeine.” ujar Jae.


Sembari menunggu Jae selesai dengan urusannya, Sungjin menuju sofa empuk yang harganya melebihi gaji Sungjin selama setahun. Ya, semahal itu memang, tapi tak bisa dipungkiri bahwa sofa itu bisa membuat tidur nyenyak.


“Divanka apa kabar?” tanya Sungjin.

“Baik, tumben lo tanya kabar dia,” ucap Jae.

“Gue penasaran aja, soalnya sejak kejadian itu, gue jadi takut sendiri sama dia.” jelas Sungjin.


Jae terkekeh pelan dan menutup berkas yang baru saja ia periksa, menatap Sungjin dengan pandangan lemahnya sembari melepas kacamata minusnya. Hidungnya sudah lelah akibat kacamata itu bertengger seharian tanpa ia lepas.


“Lo aja takut sama dia, apalagi gue.” balas Jae.

“Sumpah sih, hari itu Divanka kelihatan seram banget. Seakan-akan mau terkam Naura detik itu juga andai lo enggak tahan dia, gue enggak bisa bayangin kalau enggak ada lo, jadi lautan darah ini ruangan.” gerutu Sungjin.


Spontan Jae melempari Sungjin menggunakan pulpen yang ia pakai untuk tandatangan tadi, ucapannya sedikit lebay dan lebih-lebihkan, padahal Divanka tidak sesadis itu meskipun kemungkinannya adalah 70% terjadi.


“Mulai deh hebohnya.” ucap Jae.

“Ya, sorry.” gumam Sungjin.


Jae pun berdiri dari duduknya dan keluar dari ruang kerjanya diikuti Sungjin dibelakangnya menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar, hari ini mereka akan menikmati makan sore-nya di café yang berada tepat didepan kantor.  Berhubung jam makan siang telah selesai, jadi Sungjin bisa pastikan bahwa suasana café sudah lumayan sepi dibanding beberapa jam lalu.


“Gue kemarin dapat kabar dari Wonpil,” ujar Sungjin.

“Kabar apa?” tanya Jae.

“Lo disuruh ke rumah, ada makan malam sama keluarga Tante Fanny,” jawab Sungjin.


Sumpah demi apapun, Jae sama sekali tak ada niat untuk menghadiri makan malam tak berguna itu. Dia tidak hadir pun pasti makan malamnya akan tetap berjalan, jadi akan lebih baik jika dia tak perlu hadir daripada ia nantinya melempari wajah Ibu tirinya sendiri menggunakan piring makan.


“Gue tahu, pasti lo enggak bakal iya-in.” tebak Sungjin.

Jae menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu mengusap wajahnya yang sedikit terlihat pucat, “Minggu depan tolong urus jadwal cuti buat gue selama seminggu, ya?” pinta Jae.

Tanpa ba bi bu be bo, kedua mata bulat Sungjin langsung membulat sempurna mendengar permintaan Jae yang secara tiba-tiba itu. Bukan apanya, perusahaan lagi sibuk-sibuknya dan membutuhkan bantuan Jae, tapi seenak jidat sang atasan malah ingin cuti.

“Enggak salah dengar gue? Heh! Itu banyak kerjaan yang nganggur, Jae.” omel Sungjin.

“I know, tapi gue harus ketemu sama Bunda dulu. Sekalian bawa Divanka ke Hongkong, sejak kita nikah, kita belum pernah kunjungin Bunda kesana.” ucap Jae.


Jika seperti itu alasannya, Sungjin bisa apa selain merestuinya? Ingin melarang, tapi ia tak tega kalau Jae telah membahas soal Bunda. Percayalah, wajah datar dan mata sinis milik Sungjin itu hanyalah cover semata, tapi hati? Lembut bak malaikat.


***


Bersambung...

Gaje? Maafkan diriku gais, gak ada ide huhu..

Maaf jika ada salah kata atau cerita tydak menarik

Jadilah pembaca yang menghargai penulis dengan cara Vote+Komentarnya ditunggu

Terima kasih dan sampai jumpa 🙏❤️❤️


Park Jaehyung : Not Mine? (Jae DAY6) [Completed]Where stories live. Discover now