22. tanpa judul

Mulai dari awal
                                    

Aku tersenyum lalu turun dari mobil itu. Arumi udah chat aku dimana ruangan anaknya mba Riri. Aku hanya tinggal tanya ke receptionist lalu diantar oleh salah satu suster yang mungkin lagi ga ada kerjaan.

"Di sini ruangannya kak."

"Terimakasih ya."

"Sama-sama kak."

Suster itupun pergi. Aku mulai masuk ke ruangan yang ada di depanku. Begitu masuk, ternyata ini bukan langsung ruangan bayi-bayinya. Tapi kita para pengunjung sekedar bisa menengok lewat dinding kaca.

Ah gitulah. Aku susah jelasinnya.

"Lama bener lo," kata Arumi saat melihat kedatanganku.

Aku mendengus. "Macet."

"Halah. Emang elonya aja yang lelet."

"Sialan lo!"

"Stttt dilarang misuh di sini."

Aku bersidekap angkuh menatapnya tanpa minat. "Masa bodo. Kan elo yang cari ribut."

Arumi tiba-tiba menempeleng kepalaku. Aku balas menjambak rambutnya karena tidak terima.

"Ck. Ga mau kalah banget sih lo," sengit Arumi padaku.

Aku lantas terkekeh. "Jelas. Jangan cari ribut sama gue makanya," balasku songong.

Dia sekedar memutar bola matanya malas. Tidak ingin melanjutkan babak sengit lagi.

Dia kembali menghadap kaca yang menampilkan pemandangan bayi-bayi di sana. Aku ikut memperhatikannya.

Uhh. Gemoy sekalii. Aku jadi ingin punya satu yang kaya gitu. Tapi buatnya sama siapa ya?? Haha.

"Namanya Rain. Artinya hujan."

"Bagus kan?" Arumi bertanya sambil nenolehkan kepalanya menapku. Aku  tersenyum tapi tidak mengalihkan pandanganku dari anaknya mba Riri.

"Cantik," pujiku sungguh-sungguh.

Meski dari jarak segini, aku masih bisa melihat wajah mungil itu. Kulitnya yang putih, bibirnya pink, dan hidungnya mancung.

Huaaa.

Ga heran sih. Mba Riri nya aja sendiri cantik pake banget. Apalagi kalo sampe bapaknya baby ini juga ganteng. Fix bibit unggul!

"Harapan gue dia bisa setegar hujan. Tetep ada walau kadang kehadirannya mengundang umpatan orang. Tetep ada walau kadang kehadirannya bawa bencana."

"Tapi dia sejatinya anugerah dari Tuhan. Yang kehadirannya sangat memberi berkat."

Tanpa sadar aku meneteskan air mataku. Sial. Kenapa Arumi bisa ngomong gitu. Asli sedih banget.

Rain yang masih kecil bahkan tidak sempat melihat bagaimana bentuk wajah ibu. Sementara bapaknya, entah siapa.

"L-lo mau cari tau bapaknya Rain?" tanyaku meski ragu tapi aku sangat penasaran.

Bagaimanapun Rain perlu tau siapa kedua orang tuanya. Meski sudah tidak ada atau tidak diakui. Rain punya hak.

"Gimana caranya? Lo tau sendiri kerjaannya mba kaya gimana." Arumi tersenyum kecut. Tapi dimatanya ada rasa sedih campur kecewa. Aku tau.

"Tapikan bisa kita usahain kalo lo mau."

Dia menggeleng, menolak.

"Biarin aja. Masih ada gue yang bisa jadi ibu sekaligus ayah buat dia. Kalo pun Tuhan ingin Rain tau siapa bapaknya. Pasti Tuhan bakalan kasih."

Aku berdecih kali ini. Daritadi Arumi ngomong bawa-bawa nama Tuhan mulu.

"Udah percaya sama Tuhan lo?" kekehku meledeknya.

Dari dulu diantara kami berdua, dia lah yang paling ga percaya sama keberadaannya Tuhan.

Kalo aku masih mempercayai Nya kok... Walaupun doa kalo pas susah atau pas ada maunya doang. Hem.

Arumi ikut terkekeh miris sepertiku. Lalu dia mengusap wajahnya kasar.

"Balik yuk," ajakku padanya.

"Ayuk."

Arumi sempat menengok ke arah Rain beberapa saat sebelum akhirnya kita keluar ruangan itu. Sepanjang koridor aku banyak cerita gimana kuliah hari ini kepadanya. Semenjak mba Riri meninggal Arumi belum masuk kelas lagi.

Ah ralat. Arumi terakhir masuk kelas waktu itu, sebelum Alya membuat masalah. Ya semenjak itu Arumi belom masuk kuliah lagi.

Ligee lama bener...

Keenakan nih si Arumi ga kuliah.

"Eh iya Mi besok gue ga nginep di rumah lo dulu ya. Disuruh pulang gue."

Bagus! Mulut lo lancar juga akhirnya Rheta...

Arumi ga menunjuian reaksi yang berlebihan. Justru dia menyesalkan karena aku harus nginep di rumahnya. Aku bisa tau perasaan itu.

"Yaudah hooh lo balik aja sih. Ga usah balik lagi ke rumah gue juga gapapa, gue mah. Seloww. Lo nya aja yang lebay."

"Kan gue udah suruh lo balik dari kemaren," lanjut Arumi berkata.

Aku berdecak. "Dibaikin sama temen malah ga mau lo," cibirku kelewat kesel.

Arumi tertawa. "Bukan gitu. Gue cuma ga mau repotin elo. Apalagi sampe buat lo bertengkar sama tante Melsa. Kan gue yang ga enak, dodol."

"Halah biasanya juga lo bodo amatan mau dipandang buruk sama nyokap gue. Kenapa segala pake ga enakan sama Mamah."

"Ya beda kalo inii..."

"Ah ngeselin lo."

Aku cemberut, berjalan di sampingnya. Arumi tidak berusaha membujuk. Mana mau dia! Diakan temen laknat!

"Ayo buruan. Bete nya dipending dulu. Udah ditunggu nih."

Tuh kan. Malah nyuruh bete nya dipending duluu. Mana bisaa?!

"Kok taksinya cepet. Emang lo pesen kapan?" tanyaku padanya.

Tiba-tiba dia tersenyum misterius.

"Bukan taksi. Gue tadi suruh Bisma yang jemput."

"What?!" Aku melotot sejadi-jadinya.

"Gausah banyak protes. Biar hemat ga perlu bayar ongkos taksi. Ayo buruan!"

Tanganku diseret Arumi sampai aku terseok-seok. Emang beneran gila ini orang. Kan dia tau Aku benci pake mampus sama si Bisma! Kenapa masih tetep minta bantuan ke itu cowok???

"Arumi sarap!" seruku sebelum aku dipaksa masuk ke mobil Range Rover milik Bisma.

Bisma melirikku lewat kaca spion tengah. Dia tersenyum miring. Ngeselin banget. Ngledek tuh anak!

Aku langsung menatapnya judes lalu membuang muka ke jendela. Sebel sebel sebelll.

------------
alasan aku ga update karenaaaa

kalian tau, aku ambyar selama dua hari terakhir ini! konyol kan 😭🤣

tapi sumpah. sangking ambyarnya sampe ga konsen mau ngetik

hiks. Mamakk lemah sekali hati anakmu inii 🙈🙉

.

udah ah gitu aja. ntar aku malah curhat di sini 😂😂

jadi maaf banget ya kalo cerita Rheta sempet ga up-up

semoga besok udah bisa lancar lagi updatenya.

ini aku lagi pelan2 nata hati aku lagi. Eak 😂😝

ga boleh terlalu seneng, nanti sakitnya double:")

.

Terimakasih udah baca ceritaku sampe sejauh ini

See u!

-------------

Pak LinggarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang