PART 6: PDKT

30 8 3
                                    


Ditatapnya lekat tablet obat yang dibelinya di apotek, tentunya bukan obat sembarangan. Obat tersebut harus ia minum sesuai dengan resep dokter. Entah mengapa, akhir-akhir ini gangguan itu kembali lagi, ini membuat dirinya harus berkonsultasi ke rumah sakit.

Mentari menelan Fluvoxamine berbarengan dengan segelas air putih. Obat itu berkerja, mengembalikan keseimbangan sorotin pada otak Mentari, hal yang membuat gangguannya sedikit reda.

"Obatnya udah kamu minum?"

Tatapan mata Mentari kini beralih menatap Tarina—bundanya.

"Iya, Bunda, udah," ucap Mentari sambil tersenyum hangat.

Tarina berjalan mendekati ranjang yang didiami oleh Mentari. Ia mengusap pelan ujung kepala anak satu-satunya dan yang paling disayang itu.

Jujur saja, Tarina bisa merasakan betul bagaimana perasaan Mentari yang dipenuhi luka. Meskipun Mentari tidak bicara, namun insting dari seorang ibu itu begitu kuat.

Masa lalu yang berhasil menciptakan luka di hati Mentari, dan berdampak pada kesehatan mentalnya. Jika pada umumnya orang-orang memiliki masa lalu yang bisa dikatakan indah, tetapi berbeda dengan Mentari yang masa lalunya begitu pahit.

"Nya entos, ayeuna bobo nya. Mimpi indah sayang," ucap Tarina sambil mengecup kening Mentari.

Mentari langsung berbaring dan memakai selimut hingga dada. Tarina lantas bergegas kembali ke kamarnya dan tak lama Mentari langsung bisa menyelami alam mimpi.

***

"Bunda ... Bunda ... tolong Mentari!" pinta gadis itu sambil nangis sesenggukan.

"Bunda ... tolong selamatkan Mentari. Bunda ...."

Di ruangan yang sudah terang oleh sorot matahari pagi, dan diramaikan oleh suara lirih gadis cantik yang meminta bantuan itu.

"Ya ampun, Mentari! Bangun sayang! Hey, di sini Bunda." Tarina yang mendengar teriakkan anaknya, langsung bergegas menghampiri dan ternyata Mentari mengalami mimpi buruk.

Mata cantik itu seketika terbuka, dan tubuhnya langsung mendekap perempuan paruh baya itu. Di dekapan Tarina, Mentari menangis sejadi-jadinya.

"Bu-Bunda ...."

"Iya, Sayang. Ini Bunda ... tenang, ya, Bunda di sini," ujar Tarina berusaha menenangkan Mentari.

"Bunda, tadi Mentari mimpi kejadian itu lagi. Me-Mentari ... takut, Bunda." Suara lirih Mentari berhasil menyayat hati Tarina. 'Mentari, mengapa harus kamu yang mengalami hal itu,' batin Tarina.

"Sstt, tenang sayang. Bunda 'kan jagain kamu terus. Kamu percaya sama Bunda, 'kan? Kamu aman sama Bunda, Sayang," ucap Tarina mencoba menenangkan. "Ya ampun Mentari! Badan kamu panas banget. Kayaknya demam. Udah, ya, hari ini kamu ijin sekolah. Bentar, Bunda mau ambil makanan sama obat dulu," lanjutnya dan hendak beranjak pergi.

"Bunda, jangan dulu pergi. Mentari takut," cegah Mentari berbarengan dengan pelukannya semakin kuat.

"Teu nanaon, sakedap ieu nya. Di sini aman, percaya sama Bunda, ya," kata Tarina dan perlahan Mentari melepaskan peluknya. Tarina pun langsung bergegas mengambil makanan yang sudah dimasak dan obat untuk sakit demam.

***

Matahari kini mulai mendekati ujung timur, cahaya yang terpancar dari sana begitu terlihat indah. Siapa saja yang melihatnya pasti terkagum-kagum, tak terkecuali Mentari yang tengah menikmati pemandangan indah itu.

Mentari duduk di balkon sembari mendengarkan musik. Sakitnya memang sudah berangsur-angsur membaik. Baginya, melihat senja di sore hari memiliki rasa ketenangan tersendiri.

Raja BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang