PART 3: Semesta Paralel

48 10 5
                                    

Hujan untuk kesekian kalinya.

Rintik-rintik hujan yang memeluk jendela kaca itu seperti akar, bulirnya berlomba-lomba, bertanya-tanya siapakah yang pertama kali akan jatuh ke bawah. Derasnya, merdunya suara hujan bertemu dengan atap sungguh seperti pengantar tidur.

Mata itu memandang ke luar apartemen, jarinya menyentuh kaca jendela yang sangat dingin. Sangat indah, mereka semua sangat kecil, para mobil itu seperti semut dari tempat sang gadis. Sama sekali tidak ada manusia, sepertinya sedang berteduh dari derasnya hujan.

Gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi gedung apartemen raksasa ini berdiri angkuh dan kokoh, siulan angin juga bisa sedikit ia dengarkan dari celah jendela. Sungguh dunia yang mendamaikan.

"Mentari, Bunda pergi dengan Tante, ya, kamu jaga apartemen sebentar." Bunda Mentari menggantungkan sebuah tas di dinding. "Ini makanan, kalau kamu lapar makanlah." Wanita paruh baya itu mendorong pintu di depannya lalu menghilang saat berbelok.

Mentari sama sekali tidak berkutik menatap kepergian sang ibunda saat hujan seperti ini. Gadis itu melepas blazer putihnya, melempar helaian kain tebal itu entah ke mana dan membanting tubuhnya. Ia menyusuri benak, mencari sesuatu yang mungkin saja hilang tenggelam.

Tidak lama setelah berkutat dengan dirinya sendiri, kepalanya terasa tersengat listrik, seakan memberi tahu sesuatu yang dirinya tidak ingin tahu. Mentari memegang pelipisnya, menyentuh keringat dingin yang berseluncur hebat dari dahi. "Apa-apaan tadi itu?" Ia mengingat perasaan seolah-olah diikuti seseorang saat pulang sekolah tadi.

Mentari mencoba menutup matanya, menenangkan tubuhnya yang terasa panas. Hujan semakin deras menghantam kota itu untuk kesekiankalinya, menerjang debu dan dedaunan kering di jalanan. Terkadang juga menghanyutkan sisa darah dari sebuah luka, luka yang sama sekali tidak terlihat, tapi sakit terus merasuki hingga ke tulang. Seperti yang selalu dialami lelaki itu.

Raja duduk diam di kursinya, seakan nanar menatap dirinya sendiri yang terpantulkan oleh kaca. Gadis di depannya, Bulan, sama sekali tidak berhenti mengoceh. Kuncir rambut dengan gantungan bel berlapis alumunium itu terus mengganggu telinganya setiap Bulan menggerak-gerakkan kepalanya.

"Kenapa gue jadi berakhir di sini?" batin Raja. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, seolah-olah mendampingi jarum jam mendetik masa.

Bulan tertawa girang dengan mata penuh cahaya menatap Raja. "Raja, tidak apa-apa, 'kan, kalau kamu nanti mengantarku pulang?" tanyanya dengan penuh harapan. Gadis itu memajukan sedikit tubuhnya pada Raja, mengharapkan jawaban yang ia harap-harapkan.

Raja mengusap wajahnya gusar, tidak percaya harus berhadapan dengan Bulan, gadis yang sekarang bertanya padanya selayak-layak anak kecil meminta sebatang lolipop pada sang ibunda. "Gue ... em, sibuk?" Raja menjawab dengan sedikit gagap.

Bulan kembali memundurkan tubuhnya dengan senyum yang sedikit pudar. "Memangnya kamu akan melakukan apa, Raja?"

Raja melirik sekitarnya, berpikir mencari jawaban yang cocok untuk ia berikan. Dalam hitungan detik, matanya menangkap sesosok pemuda berseragam pelayan yang sedang melayani pelanggan. Seperti sebuah bohlam baru saja bercahaya di kepalanya, Raja tersenyum kaku pada Bulan yang menatapnya bingung. "O-oh, Gue ... kerja! Ya, Gue kerja, di sini!"

"Hah?" Bulan menaikkan satu alisnya.

Raja melambaikan tangan pada pemuda yang tidak ia kenal itu. Sekejap ia datang ke meja yang menampung kedua insan yang tampak sedang berkencan. "Iya Tu--"

"Hai, teman lama! Gimana kabar Lo selama ini? Apa Americano masih terasa sangat pahit? Oh, gue juga punya rencana buat buka toko wine, apa Lo mau jadi salah satu pegawai nanti?"

Raja berdiri, meletakkan pergelangan tangannya di pundak pemuda itu. "Oh, Bulan, Lo pulang duluan, ya! Lo punya supir, 'kan? Gue mau reuni kecil di sini, sampai jumpa!" tuturnya sembari menggeret pemuda tersebut ke arah ruang karyawan.

Bulan menatapnya tidak percaya, gadis itu menonton punggung Raja yang menghilang setelah masuk ke ruang karyawan. "Apa-apaan!"

Bulan menyambar tasnya, berniat keluar dari cafe itu. Sebelum itu, ia melihat hujan yang tidak juga berhenti, berdecih sambil merogoh tas untuk mengambil ponselnya. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, ia menekan sebuah kontak, lalu tombol dengan logo telepon. "Pak, jemput aku!"

Bulan dengan kasar mendorong pintu kaca di depannya, bersamaan dengan sesosok gadis yang juga sedang membuka pintu balkon di sebuah apartemen hampa dan tanpa suara, hanya terisi suara hujan.

Mentari merasakan angin menampar tanpa henti wajahnya, ia menyipitkan mata, melihat ke arah bawah. "Hidup yang cukup membosankan."

•••
Hai! Selamat datang di part 4 kelompok 4, jangan jadi silent reader's yaa^^.

-Annisa
-Zila
-Arka
-Meilani
-Daves

Salam sayang❤️

Raja BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang