Part 2

11 1 0
                                    

Ellen sudah gila, sepertinya.

Pacar?

Gila, pembicaraan normal dengan Ellen saja tidak pernah dia lakukan.

Empat belas tahun Ezra kenal dengan Ellen, tidak ada kata "pacaran" lewat di antara mereka. Ezra hanya bisa menggaruk kepala, bingung. Sebelum Ezra bisa mengatakan apa-apa, Ellen beranjak dari tempat dia berdiri dan melangkah ke arah Ezra. Ellen memegang tangan Ezra, dan mengaitkan lengannya sendiri ke lengan Ezra. Ezra terkejut, dadanya terasa mau meletus. Dia tidak pernah menyangka akan ada pada jarak sedekat ini dengan Ellen.

Lagi-lagi, keinginan Ezra untuk menyuarakan kebingungannya terdiamkan oleh kata-kata yang keluar dari mulut Ellen yang tersenyum manis.

"Mama pasti kaget ya? Sorry ya, Ma, kita gak kasihtau. Kita baru banget jadian, jadi kita pengen nikmatin waktu-waktu berduaan dulu sebelum melangkah lebih serius."

Baru jadian?

Melangkah lebih serius?

Ezra tidak habis pikir. Sepertinya Ellen diculik dan digantikan seorang klon. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya kebohongan yang tidak masuk akal.

"Hm-"

"Jadi, Ma,"sahut Ellen lebih keras menutupi usaha Ezra untuk berbicara,"Let us be, ya. Ellen gak perlu orang lain lagi. Ellen cuma butuh Ezra." Kini pandangan Ellen tertuju pada Ezra, seakan-akan sedang memerintah Ezra untuk ikut setuju dengannya.

Tanpa memberi jeda bagi orang-orang disekitarnya untuk berpikir, Ellen kemudian langsung berbicara lagi.

"Sekarang aku udah ada janji juga sama Ezra. Jadi, kita pergi duluan ya, Ma! Dan, David, senang berkenalan dengan Anda."

Dengan sekali hentakan, Ellen menarik Ezra dan berjalan ke arah taman komplek. Hentakan tersebut menyadarkan Ezra dari keterkejutannya. Dia harus berbicara.

"Len, lo gila ya?"kata Ezra sambil berusaha menghentikan langkah Ellen.

Ellen pun berhenti.

"Gue bisa jelasin maksud gue tadi. Tapi gak disini, gak di deket rumah."

"Oh, sekarang lo mau ngomong sama gue? Kayaknya tadi lo nyerocos aja gak ada kasih gue kesempatan buat ngomong?"

Ellen berdecak, wajahnya menunduk dan matanya bergerak-gerak berusaha untuk tidak melihat ke arah Ezra. Ekspresi menyesal, mungkin?

"Oke. Gue minta maaf. Tapi bisa gak, kita gak ngobrol disini? We need some privacy."

Mata Ellen yang memohon membuat Ezra tak tega. Ezra tahu, setidaknya ia harus memberi kesempatan bagi Ellen untuk menjelaskan.

"Fine. Ikut gue ke Le Café aja."

Melihat tidak adanya protes dari Ellen, Ezra pun mulai berbalik dan berjalan ke arah rumahnya. Sampai disana ia masuk ke mobilnya dan memberi tanda bagi Ellen untuk ikut masuk.

***

Sesampainya di Le Café, Ezra disapa dan menyapa balik beberapa pegawai disana. Ya, dia dan temannya telah mengusahakan kafe dan coffee shop ini sejak dari tahun kedua kuliah. Dan bahkan setelah bekerja sebagai akuntan, dia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung kesana, sekalipun saat ini dia sudah tidak banyak memegang pekerjaan fisik disana.

Mereka pun duduk dan menunggu minuman yang mereka pesan diantarkan. Sambil menunggu, Ezra memperhatikan Ellen yang terdiam semenjak mereka pergi dari rumah ke tempat ini. Ezra tahu ia tidak bisa meminta Ellen langsung memberi penjelasan, karena sepertinya Ellen sendiri memiliki pikiran yang kompleks tentang hal yang baru saja ia lakukan.

Tentang Sebuah KebetulanWhere stories live. Discover now