17. akhir (tak) bahagia

Start from the beginning
                                    

"Pak nanti kalo Mamah tanya darimana, jangan dijawab ya. Biar nanti saya yang ngomong sama Mamah."

"Siap Non. Lalu ini mobilnya saya bawa pulang atau mau nona yang bawa?"

"Bapak bawa aja. Temen saya udah bawa mobil kok."

Lagi-lagi pak supirku mengangguk patuh.

"Kalo begitu saya permisi Non."

"Silahkan."

Selepas mobilku pergi, aku kembali masuk ke rumah Arumi. Tadi Arumi sempet ketiduran selama perjalanan pulang. Terus aku minta tolong pak supirku untuk menggendong Arumi masuk.

"Arumi belum bangun Ya?"

Alya yang tadinya asik main hp, menoleh.

"Belum. Pules banget tidurnya," jawab Alya.

Aku menghela nafas lega. Sedikit. Setidaknya dengan tidur ini energi Arumi bisa mulai terisi lagi.

"Terus lo sekarang mau ngapain?" tanyaku lagi.

Jujur aku capek. Sedikit linglung makanya banyak tanya sama si Alya. Ingin tidur tapi aku tahan dulu deh...

"Gue lagi balesin chatnya bang Dirga ini. Lagi ngubulin dia. Tapi kok susah amat," keluhnya dengan muka yang frustasi.

Lucu. Muka Alya emang selalu bisa bikin ketawa.

"Kurang pro lo. Makanya besok privat sama gue," celetukku bercanda membuatnya langsung mengerucutkan bibir.

"Pro an juga Arumi," katanya.

"Huaaa gue kangen Arumi!!"

Aku menarik sudut bibir ku kebawah. Aku pun punya perasaan yang sama seperti Alya. Kangen suasana yang baik-baik aja seperti biasanya. Dimana kerjaan kita cuma ngegibah, saling mencela satu sama lain, terus ketawa bahagia.

Bahagia kita mah simple.

Hiks.

"Peluk Taa..."

Aku segera peluk Alya. Kami berpelukan di sofa ruang tamu saling menguatkan. Tapi tak lama karena tiba-tiba ponselku bergetar. Ternyata Mamah yang telpon.

"Bentar Ya. Sekarang giliran gue yang kudu ngibul dulu."

Alya terkekeh. Kita sama-sama dilarang berteman dengan Arumi, tapi kita ngeyel karena memang kita tau Arumi ga seburuk yang mereka bayangkan. Jadi paham.

"Ya halo Mah."

"Di mana kamu sekarang?" tanya Mamah sinis.

Aku yakin supirku ga bilang ke Mamah. Tapi kan Mamah punya banyak anak buah. Pasti tetep tau aku lagi apa, di mana, sama siapa. Dari anak buah yang yang lain.

"Beberapa hari ini aku nginep di rumahnya Arumi ya Mah.--"

"Gausah pulang aja sekalian!" sela Mamah sambil nyolot.

Aku meringis.

"Ih Mamah kok ngomongnya gitu sih. Sahabatku lagi berduka lho."

Sedikit kesel karena Mamah ga punya empati. Huh.

"Mamah udah larang kamu ya, buat ga berteman sama dia. Tapi kamu selaluu aja ga pernah dengerin! Kamu tau ga, dia itu kaya anak pembawa sial.--"

"Mamah apaan sih!" Aku buru-buru memotong ucapan Mamah yang mulai ngelantur kemana-mana. Bukannya mau durhaka. Tapi ucapan Mamah udah kelewatan. aku ga terima.

"Ga seharusnya Mamah ngomong begitu! Arumi itu lagi kena musibah, kenapa Mamah malah nyalahin dia. Ini takdir Mah... Bukan salah siapapun!"

Aku mendengar Mamah mendengus di sebrang sana.

"Mulai pinter durhaka ya, kamu Rheta. Bagus! Terus aja main sama anak nakal itu. Biar makin ketularan ga benernya!"

"Mamah!"

Aku bingung banget harus gimana biar Mamah sadar kalo Arumi ga seburuk itu.

Lagian Aruminya juga sih, suka sok-sokan ga mau aku belain kalo ada apa-apa.

"Gini aja biar cepet. Pilih Mamah atau temen mu itu? Kalo pilih Mamah pulang sekarang. Ga usah peduliin temenmu itu."

Aku ga bisa milih.... Mereka sama-sama berarti buat aku. Mereka punya porsinya sendiri-sendiri di dalam hidupku.

Aku coba membujuk Mamah. Aku tau Mamah sebenernya masih punya perasaan peduli antar sesama. Dia cuma ga mau aku ikut digunjing karena berteman dengan Arumi.

Biasalah emak-emak.

"Mah please... Yang Arumi punya sekarang cuma tinggal Rheta sama Alya. Kami di sini harus dukung Arumi terus."

"Coba bayangin kalo yang ada di posisinya Arumi itu Rheta. Ga punya saudara, tetangga pada suudzon. Apa Mamah tega? Engga kan," kataku lagi.

"Mah, Mamah juga yang selalu ingetin aku buat terus bantu orang. Ga perduli dia orang yang ga kita suka, kalo niatnya bantu ya bantu. Kata Mamah nolong orang itu ga pandang bulu."

Aku diam menunggu respon Mamah. Kalo kali ini Mamah tetep larang aku, Fix aku bakal minggat dari rumah.

"Mah?" panggilku karena hampir semenit Mamah diem aja. Hell.

"Mamah jangan bilang tidur, aku ngomong panjang lebar teh." Aku menggerutu.

"Mamah ihhh!! Halo Mamahhhh."

"Apaan," balas Mamah cuek.

Di sini aku terseyum mendengar suaranya lagi.

"Jadi gimana? Boleh ya aku nginep di sini?"

Mamah diem lagi.

"Terserah kamu lah. Mamah capek."

Tutt tutt tutt

Panggilan telpon Mamah putus secara sepihak. Tanpa pamitan tanpa basa-basi. Mamah gengsi tuh mau kasih izin buat aku.

Aku jadi tersenyum kecut.

"Love you Mamah."

Aku bersiap menutup ponselku lalu pindah dari dapur. Tapi lagi-lagi ini benda bergetar. Kali ini chat yang masuk. Dari nomer yang ga dikenal.

Unknown:
Keadaan kamu gimana?
Baik-baik aja?

Tanpa sadar aku berdecih geli. Aku tau ini nomernya pak Linggar. Tapi ngapain dia nanyain kabar aku, aturan yang harusnya ditayain keadaannya mah Arumi.

Haha.

----------

absurd banget chapter ini

bingung mau ngisi apaan.
jadi deh gini 🙂

Luv u

hahahaha

----------












Pak LinggarWhere stories live. Discover now