12. Menghadapi Devano

301 33 59
                                    

Haii assalamualaikum maaf aku baru nongol lagi 😭
Mohon maaf lahir dan batin yaa 💚

🦕🦕🦕🦕🦕

Di balik anak yang hebat, disana pasti ada ibu yang cerdas. Gue amat sangat percaya sama fakta yang bilang kalo kecerdasan anak itu dominan di turunin dari ibunya, dan itu emang bener adanya.

Sebelum Dev hadir di tengah-tengah kita, obrolan di meja makan gue sama Hanifa pasti selalu menyinggung tentang politik, agama, atau hal lain yang perlu di pikir baik-baik. Pembicaraan kita selalu berbobot karena Hanifa selalu minta pendapat gue tentang isu-isu yang ada di dunia yang dia temui lewat berita. Ngobrol ringan juga sering sih, cuma itu lebih sering kita lakuin di tempat tidur sambil becanda.

Bahkan sekarang, setelah Dev hadir kebiasaan itu masih terus berlangsung. Dampaknya, gue jadi gak buta dan bego terhadap isu dunia. Gue juga secara gak langsung terus di push untuk berpikir kritis dan dinamis. Kebiasaan ini juga berpengaruh besar terhadap perkembangan kecerdasan dan pola pikir Devano.

Sebentar lagi Dev masuk TK-B. Menurut gue, Dev itu pinter banget, dia cukup kritis buat ukuran anak seusianya. Devano selalu punya alasan di balik keputusan yang dia ambil, contohnya kalo kita ajak beli mainan.

"Dev yakin mau beli yang ini?"

"Yakin Yah, Dev bosen mainan mobil terus."

Terus kalau dia throwing tantrum, baik gue atau Hanifa selalu bertanya alasan kenapa dia ngamuk atau nangis. Kita gak akan berhenti bertanya sebelum dia ngungkapin alasannya. Kebiasaan kecil yang justru dampaknya besar banget.

Karena kecerdasannya, gue sama Hanifa bawa Dev ke psikolog anak buat mengetahui keadaan psikisnya sekarang.

Bukan, bukan karena Dev bermasalah, justru selama ini Dev selalu bikin gue sama Hanifa bangga. Gue cuma pengen tau kondisi psikis Dev menurut ahlinya. Kita takut ada sesuatu yang hilang dari diri Dev karena kita anggap dia terlalu cerdas.

"Udah sayang?" Setelah kita tungguin kurang lebih sejam, Dev akhirnya keluar dari ruang konseling bareng psikolog nya.

"Pak, Bu boleh kita berbicara bertiga di dalam?" Psikolog ngajak gue sama Hanifa masuk.

"Sayang, main dulu sama temen-temen ya?" Sebelum masuk, gue pastiin dulu Dev berbaur sama anak-anak lain yang lagi main di area nya karena tempat ini di fasilitasi area bermain.

Dev cuma ngangguk terus dia di tuntun sama penjaga disana buat masuk ke area bermain.

🦕🦕🦕🦕🦕

"Bagaimana perkembangan anak kami?" Tanya Hanifa mengawali pembicaraan kita bertiga.

Psikolog itu langsung membahas setiap catatan yang dia bawa dari ruang konseling tadi. Berurusan sama psikolog emang bukan hal yang baru buat kami, tapi gak tau kenapa tiap sesi pembahasan kayak gini selalu bikin perasaan gue gak karuan.

"Hmm Devano..di awal pembicaraan kita tadi, Devano terlihat sedikit pemalu, dia tidak mudah terbuka untuk orang asing." Gue sama Hanifa dengerin penjelasan psikolog itu sebaik mungkin.

"Dia pendengar yang baik, dan untuk anak usia 5 tahun, kecerdasan dan kepandaian dia dalam berbicara sudah jauh melebihi anak seusianya, dan tata bahasanya juga runtut."

Gue bisa bernapas lega karena sepanjang obrolan ini gak ada hal negatif yang psikolognya ceritain tentang anak gue.

"Menghadapi Devano butuh sedikit kesabaran dan pemahaman karena saya perhatikan dia cukup sensitif. Sejauh ini, bagaimana sosialisasi dia dengan lingkungan sekitar? Dengan keluarga, atau dengan teman-temannya, mungkin?"

After EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang