32. keputusan bersama

489 84 22
                                    

Jian POV 

Hanya ada gue, Elang dan Shakeel di depan ruang UGD, menunggu dokter di dalam sana yang berusaha menyelamatkan Byan. Bang Alby belum datang ke sini karena masih kerja, tapi ia berjanji akan pulang lebih awal dan langsung ke rumah sakit nanti.

Kami sama-sama terdiam, menghadapi kekhawatiran sendiri. Shakeel tertunduk dalam dengan bajunya yang masih berlumuran darah Byan. Shakeel memang menemukan Byan pertama kali saat terjadi pertengkaran itu.

Gue jadi ingat ucapan Byan terakhir kali kalau masalah ini akan selesai tapi gue nggak nyangka kalau dia akan menyelesaikannya dengan cara seperti ini. Barangkali Byan berpikir bahwa kematian Rehan adalah satu-satunya cara agar pria itu tidak menggangu hidupnya lagi. Selama Rehan hidup maka dia akan menjadi bayangan juga dalam hidup Byan.

Gue nggak tau sebarapa buruk bayangan Rehan menghantui Byan selama ini. Yang gue tau adalah Byan adalah orang ceria yang sepertinya tidak memiliki beban hidup. Tapi ternyata selama ini dia menyimpan traumanya sendiri.

"Byan akan baik-baik saja!" gue menepuk pundak Shakeel pelan. Dia adalah orang yang paling kelihatan bersedih sekarang.

Kita di sini sama-sama berusaha tenang tapi ternyata semua tidak sesuai harapan. Pada akhirnya Byan tidak tertolong, dia mengembuskan napas terakhir jam empat lewat sekian. Saat dokter keluar dari ruang UGD dan memberi tahukan hal itu, tubuh gue langsung bergetar, rasanya kedua kaki gue tidak berpijak pada lantai lagi.

BRUGGG!

Dan Shakeel ambruk ke lantai di depan mata gue. Gue dan Elang segera memapah tubuh Shakeel sebelum beberapa perawat datang membantu dan membawa Shakeel ke ruang pasien.

Gue dan Elang tetap dalam kebisuan. Kerongkongan kami seperti tersumbat sehingga tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Gue terduduk lemas di kursi sedang Elang berulang kali mengusap wajahnya, matanya berkaca-kaca.

"Kabari yang lainnya!" kata Elang dengan suara parau dan rendah.

Dengan tubuh yang masih bergetar gue merogoh ponsel, mencoba menghubungi bang Jun, Bang Zhaf dan bang Gavin.

"Halo bang Zhaf!" suara gue serak

"Eh Ji, ini bang Jun bukan Zhaf, salah sambung lo, hahahaha."

Dan gue baru sadar kalau gue menekan nomor bang Jun bukan bang Zhafir. Gue linglung saat ini. Tapi siapapun yang menerima telpon gue pertama kali, tujuannya tetap sama, memberitahukan keadaan Byan sekarang.

"Bang Jun, Byan meninggal."

Tidak ada suara bang Jun beberapa saat sampai kemudian terdengar suara tangis yang ditahan.

"Gue ke Jakarta sekarang." Itu adalah kalimat terakhir bang Jun sebelum menutup telepon. Dia bahkan nggak bertanya apa penyebab Byan meninggal.

Setelah itu gue menghubungi bang Gavin dan memintanya untuk ke Jakarta secepatnya. Elang juga menghubungi bang Zhafir dan bang Al bergantian.

Gue dan Elang berusaha saling menguatkan sebelum semua penghuni gerhana datang. Bang Al datang lebih dulu, dan setelah itu kami sepakat untuk memberitahu keluarga Byan di Palembang tentang kematiannya. Bang Al yang menelpon mereka, karena gue dan Elang kayanya nggak bakal sanggup dan nggak tega.

Jam delapan malam bang Juna dan bang Zhafir datang bersamaan. Dan selang sejam lagi bang Gavin juga datang. Mereka sama-sama naik pesawat kembali ke Jakarta. Shakeel sempat sadar tapi pingsan lagi, itu terjadi sampai tiga kali sebelum dia akhirnya sadar sepenuhnya dan sudah lebih bisa menerima kenyataan kematian Byan

Shakeel memang orang yang paling dekat dengan Byan. Gue bahkan sempat mengira mereka sudara dulu. Akhirnya semuanya berkumpul, dan semalaman itu kita berada di rumah sakit sambil menunggu kedatangan keluarga Byan ke Jakarta.

KOSAN GERHANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang