42 - Definisi Cantik

Mulai dari awal
                                    

"Jurusan?"

"Kedokteran, Om."

"Wah..." wajah Ayah Sehan nampak tertarik. Ayah Sehan ini pensiunan tentara, tapi semua kakak dan adiknya itu berkecimpung di dunia medis. Makanya rumor kalau keluarga Sehan punya rumah sakit sendiri itu betul adanya. "Habis wisuda nanti koas berarti, ya?"

"Iya, Om. Koas kurang lebih dua tahun."

"Kira-kira di rumah sakit mana aja koasnya?"

"Tiap state pindah-pindah sih, Om. Selama selang beberapa minggu bisa ganti rumah sakit. Rata-rata kating saya itu koasnya masih di sekitaran Jakarta, paling jauh dioper ke wilayah Jabodetabek." jelas Jisoo.

"Sudah ada rencana nanti mau lanjut spesialis atau tidak?"

Jisoo menggaruk tempurung belakang kepalanya yang tidak gatal, "Waduh belum tau kalo itu, Om..."

Tanpa disangka, Jisoo melihat Ayah Sehan terkekeh untuk pertama kalinya. "Jadi dokter itu perjalanan yang panjang sekali. Makanya saya bersikeras menolak jadi dokter."

"Ya begitulah Om..."

Jisoo pikir, pada topik-topik obrolan selanjutnya, Ayah Sehan akan membahas seputar dunia kedokteran lainnya—tentu saja dalam pembahasan luas karena dia sama sekali bukan ahlinya. Tapi ketika sisa kekehan terhadap Jisoo itu berubah kembali jadi raut serius, Jisoo praktis menegang usai sebuah kalimat terlontar.

"Kamu... sudah pasti tau kan apa yang pernah terjadi pada Sehan?"

"M-maksudnya, Om?"

"Saya yakin kalau Sehan nggak akan berani bawa sembarang perempuan ke rumah, apalagi dipertemukan dengan saya." terang Ayah Sehan. "Dia bukan anak nakal lagi. Sudah lama sekali sejak dia meninggalkan segala perbuatan nakalnya itu, termasuk main-main pada perempuan."

Jisoo menelan saliva susah payah, "Kalau yang Om maksud soal Aurora, saya tau..."

"Bagus kalau gitu." Ayah Sehan menjeda sebentar, "Berarti Sehan nggak perlu susah-susah menyusun kalimat untuk memberi penjelasan. Karena kamu tau, rata-rata yang menyukai Sehan itu hanya berpikir bagaimana caranya mendapatkan Sehan tanpa memikirkan eksistensi Aurora."

"...."

"Melihat bagaimana kamu memberi perhatian pada Aurora, saya harap perhatian itu tidak bertahan sebentar saja. Saya harap, kamu memang orangya. Atas segala yang sudah Sehan korbankan, bukan lagi saatnya Sehan menerima bentuk kekecewaan."

Kalimat yang mengandung pengharapan yang musti diemban. Belum sudah Jisoo merangkai kata dalam kepala demi menjawabnya, Sehan lebih dulu turun dari anak tangga dengan menggendong Aurora yang telah selesai mandi.

"Saya mau pesan pizza, Nak Jisoo ada request mau varian apa?" tawar Ayah Sehan yang berarti dia memang tak perlu sebuah jawaban.

"Apa aja saya mah, Om. Kebetulan saya termasuk spesies omnivora." Jisoo baru berani bergurau.

Jisoo kira Sehan akan bergabung duduk di ruang tamu, rupanya dia mengajak Jisoo keluar menuju halaman samping yang terdapat sebuah ayunan di bawah pohon. Sehan mendudukkan Aurora di tengah-tengah dirinya dan Jisoo. Bocah itu sibuk membuka kado berukuran cukup besar yang Jisoo berikan—bahkan kado itu mampu menutupi postur tubuh mungil Aurora.

Kado itu berisi mainan berupa tas koper kecil berwarna merah muda yang di dalamnya terdapat dua puluh empat ragam pensil warna dan buku gambar siap diberi warna. Aurora girang bukan main melihatnya—sampai-sampai bocah itu meminta Jisoo untuk datang lagi di keesokan hari untuk bermain sekolah-sekolahan bersamanya.

Sehan jadi dilema ingin terharu atau bagaimana. Keadaan dimana mereka bertiga duduk berhiaskan langit oranye serta angin bersahabat itu merupakan manifestasi angan Sehan selama ini yang tanpa sadar suka terbayang bagaimana kalau keluarga kecilnya punya formasi yang lengkap. Di satu sisi, Sehan merasa miris sebab menyadari dengan jelas akan kekosongan tempat sepeninggal Sejara yang berlaku jahat. Aurora hanya punya neneknya yang jadi satu-satunya wanita peneman bermain, ketika bertambah Jisoo di hidupnya sudah pasti akan sulit untuk memisahkan keduanya bila hubungan Sehan dan Jisoo ditakdirkan sebatas lewatan semata.

KKN [ bp × boys ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang