Please Be Nice, Sha.

1.2K 95 10
                                    

“Ah, sialan!” Danu mengumpat sembari mengacak rambut. Bagaimana ia bisa lupa jika hari ini adalah batas terakhir untuknya menyelesaikan sebuah pekerjaan penting?

Panggilan beruntun yang terus masuk ke ponselnya membuat Danu mengemudi dengan gusar. Pesan yang masuk beruntun dan nama bos yang terlihat dari layar depan membuat ia berdecak beberapa kali. Andai ia tak bertemu Vania tadi, mungkin semuanya tak sekacau ini. Apa yang telah ia rencanakan hari ini, ternyata harus berantakan karena menghadapi kemarahan Marsha.

Danu melirik ponsel yang terletak di hadapannya, di dekat speedo meter. Lagi-lagi nama sang bos tertera di sana, seakan-akan menuntut jawaban. Akhirnya, dengan berat hati Danu menjawab panggilan tersebut, menyambungkannya ke audio mobil yang semula memutar lagu romantis dalam volume rendah. Sebelum sang bos berkata banyak dan mungkin menumpahkan kekesalan, kekasih Marsha itu lebih dahulu membuka percakapan dengan banyak kata maaf.

“Oke. Gue tau lo bakalan marah banget sama gue, Vin. Tapi, please,  percaya sama gue. Semua pasti selesai sebelum besok pagi.” Danu berkata diiringi helaan napas berat.

“Jadi, lo tau banget kalo lo salah?”

Suara berat dari seberang membuat Marsha melirik sekilas ke arah Danu. Ia tak mengenal siapa pemilik suara. Namun, dari nama yang terbaca di layar ponsel, Marsa tahu jika itu adalah atasan Danu. Kekasihnya itu sempat bercerita sedikit tentang pekerjaannya, meski tak terlalu gamblang. Termasuk kedekatan dengan sang atasan yang sudah selayaknya saudara.

“Lo boleh marah sama gue, Vin. Mungkin, hari ini memang hari yang sial banget buat gue, sampe semua orang di sekitar gue harus marah dan menumpahkan semua kekesalan mereka. Ah ... sumpah! Hari ini juga berat banget buat gue.”

Seketika Marsha menengok mendapati kalimat Danu yang serupa keluhan itu. Dalam hati ia ingin tertawa melihat betapa dramanya lelaki di sisi. Akan tetapi, di sisi lain ia masih kesal pada Danu. Bagaimanapun, kini benaknya dipenuhi prasangka tak baik terhadap sang kekasih.

“Lo nangis, Dan?” Suara dari seberang terdengar penuh ejekan. “Malu saa cambang lo! Gitu doang nangis.” Terdengar suara di seberang terjeda, sebelum melanjutkan, “satu hal yang perlu lo inget, semua berkas itu harus sudah beres hari ini, atau kita berdua akan bener-bener nangis!”

Panggilan terputus, audio kembali mengalunkan lagu romantis yang tadi sempat terjeda. Sementara itu, Marsha yang tadi sempat menghentikan protes, kini kembali meminta agar ia menghentikan mobil, juga menyatakan keberatan atas apa yang dilakukan laki itu.

“Aku nggak tau apa urusan kamu! Yang jelas, aku mau turun, dan aku mau pulang!” kata Marsha ketus. Wajahnya yang semula sembab karena tangis, kini berangsur segar kembali.

“Sayang, please ... sekali ini aja aku minta pengertian kamu.”

“Pengertian apa? Aku sudah menawarkan opsi terbaik! Kita selesai di sini, kamu lanjutkan hidup kamu sendiri, dan aku akan bersikap seperti nggak pernah kenal sama kamu!”

“Ya tapi kenapa harus gitu, Sha?”

“Ya karena aku sayang mamaku, dan di antara kalian berdua aku nggak akan milih kamu!”

Danu meraih tangan Marsha , tetapi dengan cepat gadis itu menepisnya. “Sekarang aku tanya, kenapa kamu harus milih antara mamamu sama aku?”

Marsha bungkam. Ia hanya mendengkus sembari mengalihkan pandang ke luar jendela. “Kamu tau jawabannya, Danu! Nggak usah muter-muter!”

“Sha—“

“Sekarang coba kamu pikir! Mana ada laki-laki yang macarin anak sama ibunya sekaligus? Kamu pikir aku sudah gila mau terlibat dalam kehidupan nggak waras semacam itu? Kalo kamu mau gila, ya gila aja sendiri!” Marsha berkata dengan sengit, berapi-api.

My Sexiest Sugar DaddyWhere stories live. Discover now