Mereka?

855 71 3
                                    


Setelah membuat Marsha menunggu beberapa waktu, Bik Ranti muncul. Macet dan harus berbelanja beberapa kebutuhan yang dipesan mendadak oleh Vania menjadi alasan mengapa asisten rumah tangga itu terlambat.

“Tadi, pas mau nyampe sini Ibu nelepon, Non. Ibu nitip strawberry sama plain yoghurt.”

Bik Ranti berkata setelah meminta maaf sekali lagi pada Marsha. Satu hal yang membuatnya heran adalah nona kecilnya yang tak cemberut seperti biasa. Padahal, selama ini ia tahu benar jika Marsha akan marah saat diminta menunggu.

“Emang Mama diet lagi?” Marsha berkata sembari menatap orang yang menemaninya hampir seumur hidup.

“Iya. Emangnya Non nggak tau?”

Marsha menggeleng. Sebab, beberapa waktu belakangan ini sang mama selalu mengajaknya makan
bersama, tak kenal waktu. Mereka bisa jalan-jalan ke mana dan kapan saja, lalu makan dan minum apa pun yang mereka suka tanpa batasan.

“Jadi ... selama ini Mama ngancurin dietnya buat aku?” tanyanya pelan.

Bagi sebagian orang, urusan penampilan dan berat badan memang hal biasa. Akan tetapi, Marsha tahu bahwa tidak demikian dengan ibunya. Selama ini, mamanya berusaha mati-matian merawat tubuh demi karier yang sedang digeuti sekarang. Pola makan sehat, perawatan, termasuk diet ketat. agaimana semua itu bisa luput dari pikiran Marsha?

Bik Ranti mengangkat bahu. “Ibu bilang, cuma mau seneng-seneng aja sama Non Marsha. Katanya, banyak momen yang harus Ibu tebus untuk Non Marsha.”

“Ah ....” Marsha menghela napas panjang. Satu lagi alasannya untuk membuat semua usaha sang mama tak sia-sia. Sosok ibu yang selama ini ia anggap lebih mementingkan karier dan penampilan di atas apa pun, nyatanya mengorbankan banyak hal untuknya.

“Ibu sayang banget sama Non Marsha. Jadi, anggapan bahwa Ibu lebih mentingin karier daripada anak, itu nggak bener, Non.” Bik Ranti menambahkan.

Marsha terdiam. Sebab, selama ini segala unek-unek itulah yang ia tumpahkan pada Bik Ranti. Ketika ia merasa sendiri tanpa sosok ibu, ketika ia merasa tak berarti karena hidup tanpa ayah sebagai tempat mengadu. Termasuk ketika mamanya lebih memilih menjaga penampilan, alih-alih menemaninya makan malam.

“Bik ... aku pergi, ya. Misalnya Mama balik duluan, bilang aku lagi ketemu temen. Aku usahain balik sebelum jam sebelas.” Marsha bergegas usai berkata demikian. Ia tak menunggu jawaban Bik Ranti dan segera keluar.

Sepanjang perjalanan menuju tempat yang disebutkan Danu, Marsha terus berpikir. Betapa ucapan terima kasih untuk sang mama yang diucapkannya selama ini tak pernah cukup. Lalu, ia merasa ada rasa bersalah menyusup memenuhi kalbunya. Bahwa ia terlalu menuntut kehidupan keluarga sempurna dari sang mama, yang memang tak bisa dipaksa.

Selama ini, Marsha selalu menuntut mamanya bercerita tentang sosok ayahnya. Di mana laki-laki itu sekarang, di mana dia, di mana keluarganya yang lain, serta mengapa laki-laki itu pergi. Dalam beberapa waktu terparah, Marsha sempat menuduh mamanyalah penyebab mereka hidup terpisah.

Dalam satu waktu, mamanya akan bercerita sambil menangis. Hal yang membuat rasa penasaran Marsha sedikit terobati. Tanpa ia sadari bahwa hal itu sama saja memaksa Vania mengorek luka lama yang selama ini susah payah untuk disembuhkan. Apakah mungkin, tak ingin menjawab semua tanya adalah alasan sang mama menjauh darinya selama ini?

Kemudian, Marsha dijebak rasa bersalah. Jika memang selama ini mamanya hidup dalam rasa tak nyaman, maka ia akan memberikan apa pun yang membuat sang mama bahagia.

Semua kecamuk di benak Marsha tercerai-berai ketika pengemudi taksi memberi tahu bahwa mereka telah sampai di tujuan. Segera Marsha turun, lalu masuk ke dalam hotel berbintang yang terletak di pusat Kota Jakarta itu.

Langkah Marsha terayun cepat, seakan-akan tak sabar dengan kejutan yang disiapkan sang kekasih. Ujung terusan yang ia kenakan tersibak menampilkan sebagian pahanya, mengikuti irama langkah yang teratur.

Dalam penampilan yang sekarang, tak akan ada yang mengira bahwa usia Marsha belum berusia dua puluh. Rambut yang di-high light cokelat dan merah marun itu dibiarkan tergerai menutupi punggung yang terbuka, juga sebagian tergerai indah menutupi dada. Model rambut ikal pada bagian ujung memberi kesan dewasa di wajah Marsha.

Bukan tanpa alasan Marsha berdandan seperti itu. Lokasi pertemuan yang terletak di hotel, membuat ia memilih tampilan yang pas, agar tak terlihat serasi berada di sisi Danu. Bukan seperti ayah dan anak seperti yang selama ini Kalila katakan.

Langkah Marsha melambat ketika matanya menatap dua orang tengah berbincang di sudut ruang, tak jauh darinya. Tak adanya pengunjung lain dan irama musik klasik yang mengalun pelan membuat ia bisa mendengar apa yang diucapkan dua orang di hadapan.

“Kenapa kamu nggak nikah lagi? Semuanya sudah terlalu lama, ‘kan?”

Lelaki itu bertanya pelan. Namun, bukan itu yang jadi perhatian Marsha. Tangan sang saling menggenggam di meja itulah yang menjadi fokusnya sekarang. Kemudian, tampak wanita di hadapannya itu tersenyum seraya menatap lelaki yang menggenggam tangannya. Pemandangan itu tentu saja membuat Marsha terasa pening.

“Semuanya terlalu sulit buat aku. Banyak kenangan yang nggak bisa aku lupain.”

“Jadi, itu juga yang jadi alasan kamu kabur dari rumah? Karena kamu nggak mau lupa sama semuanya?” Lelaki itu bertanya lagi.

Wanita di sana menggeleng lagi, tetapi tak berusaha melepaskan jemarinya dari kungkungan sang lelaki. “Itu sudah lama. Please, jangan buat aku inget semuanya lagi. Kamu tau, ‘kan ... itu nyakitin kita?”

Lelaki itu mendesah pelan. “Vania—“

“Karena jujur, aku nggak mau menghalangi apa pun cita-cita kamu. Aku cuma jadi penghalang, dan aku—

“Kenapa?”

“Karena aku sayang kamu, Danu.”

Marsha menggeleng dan mundur selangkah. Bagaimana mungkin dua orang itu saling mengenal? Apa mereka terlibat perasaan di masa lalu? Atau mungkin ... itu adalah lelaki yang membuat sang mama berubah akhir-akhir ini?

Dengan cepat Marsha berbalik. Ditinggalkannya lounge hotel itu dengan perasaan hancur tak terkira. Sementara untuk mendekat, ia tak punya keberanian, juga enggan mendengar semua penjelasan. Bukan tak ingin tahu apa yang terjadi. Akan tetapi, janji memberikan apa pun yang membuat mamanya bahagia terlanjur terpatri dalam hati

**

Bersambung ....

My Sexiest Sugar DaddyWhere stories live. Discover now