Tekad Marsha

1.2K 85 0
                                    

Beberapa kali Marsha melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. Ia sudah hampir terlambat, tapi si Bibi belum juga sampai. Sebenarnya ia bisa langsung pergi tanpa menunggu asisten rumah tangga itu datang. Akan tetapi, ia takut jika wanita paruh baya itu akan cemas dan mencarinya. Sebab, seperti pesan sang mama, ia harus berpamitan, dan pergi setelah si Bibi tiba.

Beberapa kali Marsha sudah menelepon Bik Ranti. Wanita itu pun berkata tak lama lagi akan sampai. Namun, setelah hampir tiga puluh menit berlalu, batang hidungnya belum juga tampak. Tentu saja, ini membuat Marsha gelisah.

Danu :
Sudah siap, Sayang? Kita ketemu di tempat yang aku share lock, ya.

Marsha tersenyum ketika membaca pesan itu. Ia sangat merasa beruntung memiliki kekasih sebaik dan seperhatian Danu. Jika kata orang di luar sana kebanyakan pria tidaklah peka, maka Danu berbeda. Kekasihnya itu sering memberikan kejutan-kejutan manis yang membuat hati Marsha berbunga. Padahal, hubungan mereka baru berjalan kurang lebih sebulan belakangan.

“Tiati, Sha. Om-om gitu kan biasanya modus doang!” Begitu kata Kalila suatu hari, tentu saja dengan tujuan mengingatkan.

“Maksudlo?” Marsha sedikit tak terima. Sebab, Kalila seolah-olah tak melihat sisi baik Danu, hanya karena usia sang kekasih yang terpaut amat jauh dari mereka berdua.

Kalila mengangkat bahunya, menampilkan wajah skeptis. “Ya ... gitu, deh. Lo kalo terlalu polos gini bisa abis dikerjain sama tuh om-om !”

“Namanya Danu, dan dia pacar gue.”

“Ya budu.” Kalila meraih cangkir berisi teh hangat miliknya, lalu menyesap perlahan.  “Gue cuman ngasih tau sebagai temen yang sayang banget sama lo.”

Marsha bersedekap, memindai Kalila selayaknya mesin scanner. “Dan gue, meskipun lagi bucin parah, gue tau mana orang baik dan mana yang jahat.”

“Oh, really? Gimana kalo dia ninggalin setelah ngapa-ngapain elu?” Kalila kini bersedekap. Ia sedikit menjauhkan badan dari meja, bersandar dengan tatapan tertuju lurus pada Marsha. “Sementara gue apal banget sama lu. Yang nggak segan ngasih apa pun dalam keadaan bucin.”

Marsha paham jika saat ini sahabatnya itu tengah serius. Kata-kata yang tajam menusuk membuat ia menatap Kalila dalam-dalam. “Gue masih terlalu waras buat nyakitin Mama.”

“Dan bisa dibilang ... lo juga masih waras sebelum masuk rumah sakit waktu itu.” Kalila memotong lagi.

“Kali ini nggak.” Marsha membantah.

“Bedanya?” Kalila memotong tak kalah sengit. Dua sahabat ini memang selalu demikian ketika bertukar pendapat. Bahkan terkadang, keduanya pun tak peduli meski sedang berada di tempat umum, dan perdebatan mereka kali ini mungkin akan didengar orang lain.

“Karena Om Danu bukan Niko.” Marsha menjawab santai, dengan intonasi lebih lembut dari sebelumnya.

“Oke. Kalo lo lupa, biar gue ingetin. Baik Om Danu-lo atau Niko, mereka semua masih laki-laki. Dan dengan tampilan lo yang kayak sekarang—“

“Gue kenapa?” Marsha tak terima.

“Kancing kemeja tuh, dibenerin. Ganjen banget dibuka sampe tiga. Mana tipis banget. Lu mau pamer daleman?” Kalila memutar bola mata. Ia mencebik seraya menyingkirkan rambut panjangnya ke belakang.

Marsha melempar tisu ke arah Kalila, tetapi berhasil ditepis. “Sumpah, ya! Lo mikirnya lebih parah dari cowok, tau nggak?”

Usai berkata demikian, Marsha menunduk seperti memastikan tampilan dirinya sendiri. Benar apa kata Kalila, kemeja putih yang ia kenakan tak mampu menutupi warna pakaian yang ia pakai di bagian dalam. Akan tetapi, ia merasa semuanya masih normal, dan banyak yang melakukan hal yang sama.

My Sexiest Sugar DaddyWhere stories live. Discover now